Skip to main content

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Cerpen Bahasa Indonesia

Kumpulan Cerpen & Unsur Intrinsik - Ekstrinsiknya





MARTINI
Wanita itu bernama Martini. Kini ia kembali menginjakkan kakinya di lndonesa, setelah tiga tahun ia meninggalkan kampung halamannya yang berjarak tiga kilometer dari arah selatan Wonosari Gunung Kidul.
Didalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan haru. Beberapa jam lagi ia akan berjumpa
kembali dengan suaminya, mas Koko dan putranya Andra Mardianto, yang ketika ia tinggalkan masih berusia tiga tahun. Ia membayangkan putranya kini telah duduk dibangku sekolah dasar mengenakan seragam putih – merah dan menmpati rumahnya yang baru, yang dibangun oleh suaminya dengan uang yang ia kirimkan dari arab Saudi, Negara dimana selama ini ia bekerja.


Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara banyak kisah mengenai tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung. Tidak jarang seorang TKW pulang ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin yang dikandungnya. Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba – tiba menjadi bahan pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang sudah ditentukan oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau tajamnya logam pancung yang kemudian membuat kedubes RI, Deplu dan Depnaker kelimpungan dan tampak lebih sibuk.

Sangatlah beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan. Majikannya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus mengasuh putra sang majikan yang sebaya dengan Andra, putranya. Hal ini membuatnya selalu teringat putranya sendiri dan menambah semangat dalam bekerja.
Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh pikiran tersebut. Ia tidak ingin suuzon dengan suaminya.
“mungkin hal ini disebabkan karena kedatanganku yang memang terlambat tiga hari dari jadwalkepulangan yang direncanakan sebelumnya,” pikirnya huznuzon.
Dan pikiran ini malah membuatnya merasa bersalah, karena ia tidak memberitahukan kedatangannya melalui telepon sebelumnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh karena ia tidak tahu dimana pool bus maju lancar terdekat dari bandara soekarno-hatta, ia berharap diterminal pulogadung ia bisa langsung menemukan bus tersebut dan membawanya ke wonosari dengan nyaman, karena badannya sekarang sudah terlalu letihuntuk perjalanan panjangyang ditempuh dari arab Saudi.
Tanpa ia sadari, martini telah sampai didepan rumahnya, rumah yang merupakan warisan ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra dan ibunyayang telah renta. Namun bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang ia lihat hanyalah rumah tua tanpa berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi didekat rumahnyayang kini telah kosong. Sama keadaanya dengan tiga tahun lalutatkala ia meninggalkan rumah tersebut.
“ mana rumah baru yang mas koko bangun seperti yang ada difoto yang mas koko kirimkan tiga bulan yang lalu. Apakah ia membeli tanah ditempat lain dan membangunnya disana. Kalau begitu syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon.
Ia ketuk perlahan – lahanpintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul membukakan pintu “kulo nuwun, mas…! Andra…! Mbok…!”
Beberapa saat kemudian barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.” Madosi sinten mbak?” Tanya seorang bocah berusia 6 tahun yang tak lain adalah andra yang muncul dari balik pintu.
“Andra aku ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal kedatanganku?” ucap martini balik bertanya.
“Ayah? Kedatanagn ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra bangunkan mbah dulu,” ujar Andra sambil berlari menuju kearah kamar neneknya.
Martini masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan depan, seraya memperhatikan keadaan didalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut. Keadaan dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang berarti.
“Martini ya. Wah – wah anakku sudah datangdari perantauan,” terdengar suara tua khas ibu martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan anaknya, diikuti oleh andra , membawakan segelas the hangat.
“bagaimana keadaan simbok disini?”, Tanya martini.
“oh, anakku simbok di sini baik – baik saja, kamu sendiri bagaimana, tini?” “saya baik – baik saja mbok, ngomong – ngomong mas koko dimana mbok?” Tanya martini. Mendengar pertanyaan itu, tiba – tiba air muka ibu martini berubah, ia tampak berpikir – piker sejenak.
“ oh mengenai suamimu, nanti akan simbok ceritakan, sebaiknya kamu ngaso dulu. Kau pasti capek setelah melakukan perjalanan jauh. Jangan lupa the hangatnya diminum dulu,” saran ibu martini.
Martini menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas the hangat, ia mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan suaminya ; dimana dia, apakah dia merantau ke Jakarta untuk turut mencari nafkah diperantauan, dimana letak rumah barunya, atau apakah mas koko malah meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita lain?”
“ah tidak mungkin,” pikirnya kembali berusaha untuk tetap huznuzon.
Ia mencoba bangkit lalu menemui ibunya yang sedang memasak dipawon.
“maaf Mbok, dimana mas koko, tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar martini membuka kembali percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak, lalu berdiri dan mengambil segelas air putih dingin dari kendi.
“ minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini, nanti simbok ceritakan di mana suamimu berada, kalau kamu memang sudah tidak sabar.”
Sementara itu martini bersiap untuk mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya.
“ tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya dari kamu sudah jadi. Letaknya didusun sebelah sana, namun sejak itu pula kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu adalah tetangga barunya. Dua bulan lalu mereka menikah dan meninggalkan andra bersama simbok. Tentu saja simbok marah besar kepadanya. Namum apa daya, simbok hanyalah wanita yang sudah renta, sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok pegangpun pas – pasan. Mau mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan simbok buta huruf. Mau minta tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku satu – satunya. Kamu tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong untuk mengirimkan surat kepadamu, sedangkan anakmu, andra masih kelas 1 SD”.
Mendengar penuturan ibunya, martini langsuung menangis, ia sedih marah dan kalut.
“mengapa simbok tidak melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah berjanji untuk membantu simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan suamimu sendiri dan istri barunya , tampak tak peduli denagn suara – suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok tidak berfikir sampai kesitu, maafkan simbok,” tambah ibunya dengan suara yang terdengar bergetar.
“Duh Gusti...., paringono sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap ingat kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang begitu ia cintai dan ia percaya, dapat berbuat begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia sekarang tinggal bersama istri barunya, di rumah hasil jerih payahnya selama tiga tahun merantau di Arab Saudi.
"Mbok, di mana rumah baru itu berada?”
wajah ibunya terlihat ketakutan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan anaknya dalam keadaan kalut di sana apabila ia tahu letak rumah tersebut.
"Mbok,d i mana Mbok,” Suara Martini semakin tinggi, namun ibunya tetap diam.
,”Kenapa simbok tidak mau membertihu. Apakah Simbok merestuinya?_Apakah simbok mendukungnya? Apakah Simbok membela bajingan itu dari pada saya anakmu sendiri? Apakah.....”
“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu mau menjadi anak durhaka? Ingatlah kamu kepada Tuhan,Nak, ingatlah kepada Gusti Allah,N ak"
Kalimat itu muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar ucapan pedas anaknya tersebut.
“ya sudah kalau Simbok tidak mau memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” teriak Martini seraya meninggalkan ibunya yang sangat bersedih, yang berusaha mengejarnya namun kemudian jatuh tersungkur di halam depan rumahnya karena tidak mampu lagi mengeiarnya.
“Hei , mana Koko, bajingan sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, menyusuri jalan dengan muka merah Padam.
Pikrannya kacau balau.
“Buat apa aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan.Andra tetapi mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan tinggal di sana bersama istri barumu,
Kurang apa aku?”
Mendengar teriakan Martini, kontan para tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan ulah Tini yang sudah tidak mereka lihat selama tiga tahun, tiba – tiba muncul kembali di dusun itu dengan tingkah laku yang berubah 180 derajat. Martini yang dulunya lembut, penurut, kini kasar dan beringasan. Apakah ia telah gila? Apakah yang telah terjadi terhadap dirinya di Arab saudi? Apakah ia
Dianiaya sebagaimana sering terdengar berita di media massa mengenai TKW yang disiksa?.
Namun kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan Martini. Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan tetangganva itu. Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu, keluar dari rumahnya. Koko tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan istri barunya itu
terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang meletakkan keduavtangannya dipinggang koko.
,,” hei, siapa kamu. Tini ya. Kenapa kamu kesini? Ini rumahku bersama mas koko. Bukannya kamu sudah mati, kalau belum mendingan kamu mati saja sekarang. Itu lebih baik, dari pada mau merusak kebahagiaan kami. Bukan begitu mas koko?” ujar wanita yang ada disebelah koko sambil mengalungkan tangan kanannya dileher koko dengan lembutnya.
Hal ini jelas membuat tini makin marah.
“hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko adalah suamiku. Dan kau koko, mengapa kau tega menipuku, meninggalkanku hanya untuk menikahi wanita keparat ini. Dasar bajingan.”
Dekapan tetangga yang memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih sebuah bamboo yang tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko dan istri barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam rumah baru itu. Secepat kilat ia mengayunkanbambu itu ke arah mereka berdua. Namun malang, belum sampai bamboo itu mengenai sasaran, ia kehilangan keseimbangan. Ia terpeleset dari dua anak tangga dan jatuh terjerembab tak sadarkan diri.
”Mbak – Mbak bangun Mbak. Mau turun di mana Mbak. Ini sudah sampai di wonosari," terdengar sayup-sayup suara pemuda yang duduk di dekat Martini.
"Astaghiirullaahaladzlm .Ha...apa...?.. W onosari," Tanya M artini.
“ Ya Mbak sepertinya dari tadi Mbak gelisah tidurnya" ujar pemuda itu
”Apakah benar ini wonosari?" Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan pandangannya keluar jendela.
Ya ini adalah daerah yang telah tiga tahun ia tinggalkan.
"Alhamdulillah ya. ,Allah terima kasih," batin Martini bahagia.






UNSUR INTRINSIK
·        Tema  :  percayalah pada niat baikmu

·        Latar  :
Tempat   :  dalam bis(dalam perjalanan) dan di kampung

Waktu     :  tiga tahun setelah kepergian martini ke Arab Saudi

Suasana  :   diawal cerita suasana yang timbul basa saja, tetapi pada pertengahan cerita suasana yang timbul  
                     Menegangkan karena adanya konflik yang timbul ketika tokoh utma bermimpi

·        Plot/alur  :  alur cerita itu adalah alur maju(episode) karena jalan cerita dijelaskan secara runtut. Pada awal cerita
                    diawali dengan pengenalan tokoh, kemudian si tokoh bermimpi, pada mimpinya timbul suatu      
                    pertentangan  yang berlanjut ke konflik(klimaks) dilanjutkan dengan antiklimaks dan pada akhir cerita
                    terdapat penyelesaian.

·        Perwatakan  :

 Tokoh utama(martini) :  wataknya yang sabar,lembut ,pekerja keras,  bertanggung jawab terhadap
                                            keluarga,  hal ini di tunjukan dari penjelasan tokoh,penggambaran fisik tokoh serta             
                                            tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama
Tokoh pembantu  : 
                                      Mbok  : sabar
                                      Andra  :  patuh terhadap orang tua
                                      Mas koko  :  tidak bertanggung jawab terhadap keluarga
·        Sudut pandang : orang ketiga

·        Mood/suasana hati : kecurigaan,kesabaran,kecemburuan,penyesalan,kebahagiaan

·        Amanat :
                        -Seharusnya  suami bertanggungjawab untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya
                        -Jangan dulu bersikap su’udzon kepada seseorang bila belum ada buktinya
                       - Keuletan dan ke



BANGKIT


Pandanganku pada langit tua. Cahaya bintang berkelap kelip mulai hilang oleh kesunyian malam.  Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap. Cahaya bulan malam ini begitu indahnya. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Konflik dengan orang tua karena tidak lulus sekolah. Hari ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan hadiah sepeda motor yang terpaksa di kubur dalam-dalam karena tak lulus, belum lagi si adik yang menyebalkan. Teman-teman yang konvoi merayakan kemenangan, sedang aku?
Hari-hari yang keras kisah cinta yang pedas. Angin malam berhembus menebarkan senyumku walau sakit dalam hati mulai mengiris. Sesekali aku menghapus air mataku yang jatuh tanpa permisi. Sakit memang putus cinta.
 Rasanya beberapa saat lalu, aku masih bisa mendengar kata-kata terakhirnya yang tergiang-ngiang merobek otak ku.
“sudah sana… Kejarlah keinginanmu itu!, kamu kira aku tak laku, jadi begini sajakah caramu, oke aku ikuti.. Semoga kamu tidak menyesal menghianati cinta suci ini.” beberapa kata yang sempat masuk ke hpku, di ikuti telpon yang sengaja ku matikan karena kesal atau muak.
Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit.
“selamat malam..? Sorii mba kayanya lagi sedih banget boleh aku minta duitnya..” seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan,
 Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mengancamku. Aku hanya terdiam tak berkata, membuatnya sedikit binggung. Aku meraih tas di sampingku dan menyerahkan padanya. “ini ambil semua.. Aku tak butuh semua ini. Aku hanya ingin mati…!” Aku melemparkan tas ke hadapannya yang di sambut dengan senyum picik dan iapun menghilang di gelapnya malam.
Aku bangkit berdiri dan berjalan menyusuri malam, berdiri menatap air suangai yang mengalir airnya deras.Di sini di atas jembatan tua ini. Angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku. Aku berdiri menatap langit yang bertabur bintang, rasanya tak ada yang penting bagiku sekarang. Perlahan-lahan aku berjalan menaiki jembatan dan berdiri bebas. Menutup mata dan tinggal beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku perlahan mengangkat kaki kananku dan…?
Tiba-tiba sosok pemabuk yang menodong pisau padaku ku tadi, menarik baju ku dan menampar pipiku kuat, keras sekali tamparannya
“ini uang dan tas mu…!! Aku tak butuh..! Aku lebih baik mati kelaparan dari pada melihat wanita lemah sepertimu” ia menarik ku turun dan melemparkan tasku di atas tanah
 Dan ia berlalu pergi.  Aku bangkit dan meraih tas ku kembali menyusuri tangga turun. Sosok yang tadi, pria mabok yang ternyata seumuran denganku, di sekujur tubuhnya penuh tato dan tubuhnya kurus sekali. Ia berdiri termenung pada tangga jalan. Sesekali menatap langit dan menghapus air matanya.
“boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya tapi ia hanya terdiam membisu”. Aku berdiri di sampingnya menunggu sampai kapan ia akan berdiri pergi dari sini.
 “kenapa kamu menamparku..?
 Kenapa kamu menolongku?
 Aku sudah tak berarti lagi. Pria yang aku cintai bertahun-tahun mencapakanku dengan tuduhan yang tak jelas, aku memulai pembicaraan”.
 Dengan sesekali menghapus air mata akibat dari gejolak di hatiku. “apa kamu akan terdiam atau aku telah mengusikmu?”. Aku melihatnya dan ia balik menatapku tajam. Aroma alkohol dari mulutnya jelas tercium saat ia bicara “maafkan aku..? Sungguh aku minta maaf, menurut ku kamu terlalu lemah, masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit, bukankah setiap hari kita merasakan hal yang sama? Ia berkata sembari mengulurkan tangannya yang ternyata cuma 2 jari yang utuh, Aku mulai merinding karena sedikit takut. Sehingga aku tak membalas uluran tangannya. “kaget ya mbak?. Jari ku yang lain di potong oleh preman karena persaingan. Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit. Harus rela kedinginan, Di gigit nyamuk dan tempat ku tertidur hanya di emperan toko, Dan kalau sudah penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari tempat lain yang menurutku layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh makan, sudah 3 hari aku tidak makan, sisa makanan di tong sampah sudah membusuk karena hujan kemarin, Biasanya aku mencari secerca kenikmatan disana yang masih bisa layak ku telan, rasa lapar tak akan bisa membuatmu jijik. Setiap hari saat membuka mata yang anda ingat hanya perut dan perut.”Ia terdiam dan mengalihkan pandanganya luas menembus angkasa, langit malam ini. Aku hanya terdiam terpaku dengan mulut terbuka, betapa aku tak percaya setengah mati. Bagaimana mungkin seandainya sekarang aku berada di posisi ini? Aku yang terlahir dari keluar sederhana namun penuh kehangatan, uang bukan masalah, aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya, semuanya cukup, tapi ternyata itu bukan kebahagian, itu nafsu sesaat, Aku memang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta, selalu ada yang kurang setiap hari. Tanpa kebersaman kita mati. Terutama pentingnya mensyukuri apa yang ada. Aku menarik tangan dan menjabat tangannya kuat-kuat yang tinggal dua jari meski sedikit risih karena aneh menurutku. Aku memberinya sedikit pelukan hangat. Ia tersenyum memamerkan mulutnya yang bau alkohol dan bau wc umum. Aku menyerahkan tas ku padanya. “ambil lah.. Aku tak mengenalmu tapi kamu memberi ku banyak alasan hari ini, kenapa aku harus kuat menghadapi hidupku sekarang dan nanti, bukankah hidup harus tetap di jalani. Aku sadar masih punya segalanya, bodoh sekali cuma karena cinta semangatku hilang, belum tentu ia jodohku, belum tentu ia juga memikirkan hal yang sama, rasa sakitku”. Aku berlari menuruni tangga meninggalkan ia sendiri yang masih terdiam menatap kembali langit yang menampakan bintang-bintang kecil yang berkelip dengan jenaka, seakan hari ini tak akan berlalu.
Ketika aku akan menapaki jalan. Kekasihku sedang berdiri di depanku dengan bunga mawar banyak sekali di tangannya, sementara di belakangnya orang tua dan adikku yang berdiri di samping mobil, kami saling terdiam untuk beberapa saat ia memulai.“maafkan aku sayang, ternyata aku yang salah menilaimu, makasih ya?, sudah membuat hidupku lebih berharga karena ini. Ia menyerahkan bunga dengan sebuah diary usang punyaku, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi disinilah aku bisa menulis menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas kekasihku ini. Aku memeluk erat tubuhnya lama kami terdiam di iringi tangis dan canda menghiasi malam, sementara kedua orang tuaku tersenyum senang. Aku mengajak kekasihku menaiki tangga untuk mengenalkan pada orang yang mengajarkanku banyak hal. Khususnya arti bersyukur.Kami menapaki jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari namun sosok itu hilang tak berbekas? Kami turun dan kami pergi ke mall bersama orang tua dan adik ku untuk merayakan ulang tahunku.
Walaupun tetap aku tak dapat sepeda motor karena tak lulus tapi bukan berarti kehangatan ini harus berakhir
Tamat


1.    Unsur Intrinsik cerpen ‘‘Bangkit’’
1.Tema: Jangan mudah putus asa / kehidupan
2.Latar:
-Waktu : Malam hari
Bukti : Cahaya bulan malam ini begitu indahnya. 
-Tempat : di pinggir jalan dan di atas jembatan
Bukti :  ‘Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit. ‘
‘ Di sini di atas jembatan tua ini angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku’.
-Suasana : Sunyi sepi
Bukti : ‘Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap.’
3. Alur : Maju
-Karena jalan cerita dijelaskan secara runtut mulai dari pengenalan latar dan     masalah sampai ke konflik dan di akhir cerita terdapat penyelesaian konflik.
4.Penokohan :
- Aku : mudah putus asa, kurang bersyukur dan selalu mengeluh
Bukti :
‘Kenapa kamu menolongku? Aku sudah tak berarti lagi.’
‘Aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya.’
-Pria pemabuk : pemabuk dan kuat menghadapi beratnya hidup
            Bukti :
‘seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan’
‘Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit.’
5.Sudut pandang : orang pertama sebagai pelaku utama.
-Bukti : Cerpen bangkit menggunakan kata ganti “aku” sebagai tokoh utama dan mengisahkan tentang dirinya sendiri.
6. Nilai :
-Nilai Moral : Saat tokoh ‘aku’ menyadari selama ini  hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuanya mendapatkannya.Kita seharusnya bersyukur dengan apa yang telah kita miliki tidak hanya menuntut sesuatu karna diluar sana masih banyak orang yang kekurangan.
-Nilai Perjuangan = Pria pemabuk berjuang bertahan hidup di jalanan yang keras. Di kehidupan nyata banyak orang yang melakukan apapun untuk berjung hidup. Kita harus berjuang mempertahankan hidup di dunia yang keras ini.
-Nilai Kepedulian = Saat Pria pemabuk menyelamatkan tokoh ‘aku’ yang akan terjun dari jembatan. Banyak orang yang membutuhakan bantuan kita saat menghadapi masalah kita seharusnya membantu mereka tidak membiarkannya.
7.Amanat :
a. Jangan mudah putus asa dalam menjalani kerasnya hidup.
b. Bersyukurlah atas apa yang telah dimiliki.
c. Hidup tidaklah sempurna kadang manusia diatas dan kadang dibawah.
d. Jangan lari dari permasalahan.
e. Kegagalan adalah awal dari keberhasilan.
f. Masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit







2.    Unsur Ekstrinsik cerpen “Bangkit”
1. Latar Kepengarangan Penulis : Penulis menjumpai berbagai reaksi masyarakatt saat mereka gagal dan berputus asa. Dalam cerpen ini penulis ingin menginspirasi/memotivasi orang-orang dalam menghadapi kerasnya hidup melalui ceritanya.
2. Keyakinan Penulis : Penulis yakin bahwa kejadian ini banyak ditemui di masyarakat. Banyak orang yang bunuh diri karena putus asa maka penulis menggambarkan situasi tersebut dalam sebuah cerpen.
3. Masyarakat pembaca : Pembaca dapat mengambil hikmah dari cerpen ini karena cerpen ini  mengandung masalah-masalah yang ada di masyarakat dan masih banyak orang yang memiliki masalah yang sama dengan cerpen ini.






















‘’KENANGAN AYAH DAN KUMIS LEBATNYA”
Waktu bagaikan penentu perjalanan manusia yang terjadi dimasa lalu,sekarang hingga masa depan.Waktu dapat dikatakan sebagai  perekam  yang merekam perjalanan hidup dan proses yang dialami oleh setiap umat manusia yang dapat teringat kembali dimasa yang akan datang. Berbagai waktu senang,waktu sedih, hingga waktu susahpun terselip di antara waktu yang menceritakan  perjalanan seseorang yang kemudian terangkai menjadi sebuah kisah yang disebut dengan kenangan . Hal inipun tak luput terjadi pada diriku sendiri, kenangan itu kujadikan sebagai salah satu pelajaran hidup yang berarti maupun candaan yang tak akan terulang kembali dalam perjalanan hidupku. Banyak kenangan masa kecil yang selalu telintas  dalam ingatanku seperti  salah satunya kenangan ketika aku masih duduk ditaman kanak-kanak, masih teringat dengan jelas bagaimana banyak kenangan yang terjadi pada masa itu padahal sekarang aku telah duduk dibangku sekolah menengah atas ,entah mengapa kenangan ini tak dapat lepas dari ingatanku . Kini kenangan itu kuceritakan kembali  untuk mengenangnya.
Inilah salah satu pengalamanku. Ketika aku masih duduk disalah satu taman kanak-kanak di daerah tempat tinggalku, aku selalu dijemput oleh ayahku. Ayahku adalah orang yang sangat baik dan penyayang. Ayahku memiliki  badan yang cukup tinggi dan besar serta berkumis lebat. Ayahku bekerja sebagai  seorang pegawai negeri yang mengabdi didaerah tempat tinggalku. Setiap aku pulang sekolah dari taman kanak-kanak ,ayahku selalu menjemputku dengan mobil dinasnya dan aku selalu menunggunya didepan kelasku. Seperti biasa yang kulakukan  ketika lonceng sekolahku berbunyi  disiang hari, aku menunggu ayahku untuk menjemputku.
Namun hari itu tampak berbeda dengan hari-hari  biasanya karena aku tak melihat ayahku sehingga membuatku gelisah bukan main .Oleh karena itu kuputuskan untuk berjalan menuju pintu gerbang sekolahku, ketika kuberjalan aku berpapasan dengan sesosok laki-laki yang  menyerupai  ayahku berbadan besar dan tinggi namun tak berkumis lebat. Lalu orang tersebut berkata “ Ayo, Hana mari pulang!” langkahku terhenti sejenak sambil memerhatikan wajah orang itu, namun tak kukenal sama sekali siapa orang itu .Sehingga membuat begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam kepalaku, “ siapakah dia? Apakah ia adalah orang utusan ayahku untuk menjeputku?”. Tak ada satupun jawaban yang terlintas untuk menjawab pertanyaan –pertanyaan itu. Tetapi aku masih merasa bahwa aku mengenalnya ,lalu kucoba memperhatikan wajahnya kembali. Betapa terkejutnya dan malunya  aku waktu itu.Orang tersebut adalah ayahku namun ayahku tanpa kumis lebatnya. Lalu ayahku merangkul bahuku mengajakku jalan bersamanya menuju mobil dan pulang  kerumah. Dalam rangkulannya aku tak berani melihat mukanya karena perasaan sangat malu yang bercampur dengan rasa tawa. Selama perjalanan aku masih terheran-heran  terhadap diriku sendiri karena aku tak bisa mengenali ayahku ketika ia tidak memiliki kumis, apalagi jika ia botak mungkin aku benar-benar tak mengenalinya sama sekali dalam benakku .
Oleh karena itu,jika kuteringat kejadian ini kembali aku ingin tertawa yang bercampur malu,namun itu adalah salah satu kenangan yang mungkin tak akan kulupakan hingga sekarang dan aku tahu sekarang alasan ayahku tak pernah  mencukur habis kumis lebatnya itu,ia takut  aku tak mengenalinya lagi hingga sekarang sehingga ia memilih untuk memeliharanya. Itu merupakan salah satu kenangan yang kualami ketika kumasih kecil,mudah-mudahan pengalaman ini  dapat menghibur kalian yang membacanya.Salam kenal…
Unsur Intrinstik Cerpen antara lain:
  • Tema
-mengenai pegalaman masa kecil yang tidak dapat dilupakan
  • Tokoh dan penokohan.
-Tokoh : Aku dan ayahku.
-penokohan : Aku :pelupa.
Ayahku :  sangat baik dan penyayang.
  • Alur
-merupakan alur gabungan ( alur yang merupakan gabungan dari alur maju dan alur mundur) .
  • Latar
-Latar tempat : Lingkungan sekolah taman kanak-kanak(depan kelas,pintu gerbang sekolah).
-Latar waktu : Siang hari.
-Latar suasana : bingung,menghibur,gelisa.
  • Sudut pandang
-Sudut pandang orang pertama ( I ).
-Sudut pandang orang ketiga (III) .
  • Gaya bahasa
-Menggunakan bahasa yang efektif sehingga isi cerita dapat dimengerti oleh pembaca.
  • Amanat
-Semua orang mempunyai masa lalu yang berkesan maupun yang mengecewakan namun semua pengalaman tersebut selalu memiliki makna tersendiri yang dapat kita ambil dan dikenang kembali dimasa hidup kita kemudian . Selain dikenang pengalaman  dapat juga menjadi obat rindu kita terhadap masa lalu kita. Oleh karena itu apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan pengalaman yang akan dikenang kembali dikemudian hari.



Cinta Teman Terbaik

Udara pagi ini begitu menyejukkan. Membuat pagiku terasa panjang hingga enggan beranjak dari tempatku terpejam. Hari ini hari senin, hari pertamaku masuk kuliah. Terburu-buru aku mandi karena bangun kesiangan. Sesampainya di kampus aku mulai ikut kegiatan kampus, yaitu ospek. Namaku Siska. Aku bahagia karena bisa kuliah di universitas harapanku. Ku mulai hari dengan semangat. Di sini, di kampus ini aku belajar dan mulai mencari teman. Hari pertama ospek terlewati. Teman pun telah ku miliki,  meskipun masih terasa asing dan aneh. Nama temanku Alin. Dia gadis yang manis, tinggi, dan kulitnya sawo matang. Aku tak tau dia baik atau tidak. Awal perkenalan sih baik, tapi tak tahu watak aslinya. Harapanku selalu baik. 

Seminggu masa ospek berlalu. Aku mendapat banyak teman baru. Tapi tak ku lupakan teman pertama kali aku masuk. Yah, Alin masih menjadi dekat. Semakin lama semakin dekat. Hari-hari kami lewati bersama. Mulai dari mengerjakan tugas bareng, jalan-jalan bareng, curhat bareng, mandi pun mungkin bareng meski di tempat berbeda.  

Satu semester telah terlewati, persahabatan kami semakin langgeng. Saling mengerti, memberi perhatian di saat sakit, memberi kejutan di saat ulang tahun, solat bersama, dan mengingatkan di saat lalai tidak mengerjakan solat. Banyak hal yang sudah kami lalui. Banyak kesamaan di antara sikap kami. Ya, sama-sama berparas judes, galak, keras kepala, dan galau soal pacar. Seringnya kami gonta-ganti pacar membuat kami sering mengalami kejombloan. 

Libur semester 2 sudah menanti, aku bersiap untuk pelang ke rumah orang tuaku. Ya, begitulah anak kos, setiap libur selalu pulang. Aku termasuk anak yang sedikit manja. Tidak mau lama jauh dari orang tua. Sekalinya sudah mau dekat libur selalu aku tak pernah melewatkan menghitung kalender untuk pulang. Kuliahku di Palembang dan rumah orang tuaku di Lampung. Butuh waktu berjam-jam sampai ke sana. 

Libur telah tiba, aku menikmati liburanku bersama keluarga. Ya sesekali aku maen dengan teman kecilku dekat rumah.  Kesedihan mulai muncul jikalau masa libur habis. pagi-pagi aku sudah dibangunkan ibuku untuk siap-siap ke stasion pulang ke kosan. Aku murung karena belum rela meninggalkan rumah. Di keretapun aku hanya bosan. Saat akan sampai tiba-tiba aku bertemu dengan teman yang tidak akrab. Aku hanya memberikan senyuman. Setelah sampai aku pun berpisah dengannya. Hari-hari di kos mulai aku lalui. Pagi kuliah, ketemu Alin ngerumpi sambil makan dan tak bosan-bosan. Saat malam aku buka-buka akun sosmed. Gak nyangka ada yang ngechat. Maklum, orang jomblo ada yang ngechat agak seneng. Setelah aku buka.. jeng-jeng... dari orang yang ketemu di kereta. Mulailah dari situ kami ngobrol dan tukeran nomor hp. 

Awal kedekatan kami smsan, telponan. Tak lupa aku ceritakan pada Alin soal itu. belum lama kedekatan itu aku jalan dan.. akhirnya jadian. Senangnya punya pacar baru, ada yang perhatian lebih. Dari situ aku sering diantar jemput kuliah meskipun gak setiap hari. Awal pacaran aku masih sering bersama Alin. Namun, lama-kelamaan aku sering menghabiskan waktu dengan pacar baruku. Kemana-mana selalu sama dia. Makan, main, ke toko buku, belanja hampir setiap hari bersama kecuali pas tidur dan mandi kami tidak bersama. Hal-hal itu membuat persahabatanku dengan Alin renggang. 

Sempat Alin  mengatakan kesahnya karena aku tidak ada waktu bersamanya lagi. Tapi aku tak begitu menghiraukan, aku hanya menjelaskan kalau pacar sedang butuh aku makanya sering bersama pacar dibanding Alin. Tanpa ku sadari Alin juga tengah bersedih, tapi kesanku hanya biasa saja. Tidak terlalu menanggapi. Sampai akhirnya dia sedikit menjauh.  Aku pun tak merasa dan tak peduli, sampai akhirnya aku dan pacarku bertengkar hebat. Permasalahan yang begitu rumit membuat kami puuutuuuss. 

Kesedihan merundungku setiap hari. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Hari-hariku duka. Sampai akhirnya aku mulai mencari-cari sahabatku. Dia sedikit masam melihatku datang dengan sebuah masalah, meskipunaku tahu dia sebenarnya tak rela melihatku bersedih. 

Dukaku semakin mendalam jikalau aku kehilangan sahabat. Di atas tempat tidur hari-hariku lewati tanpa kekasih hati dan sahabat. Kucoba meminta maaf pada Alin. Baik via telpon dan langsung, tapi tak kunjung dia memafkan. Sampai akhirnya aku putus asa, tak makan, tak kuliah. Siang bolong aku tidur, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku buka dan kejutan, Alin datang. Tanpa menunggu lama aku memeluknya erat sambil ku katakan maaf. Hujan air mata hari itu. kami pun akur saat itu, Alin pun menjadi malaikat yang dikirim tuhan penghibur lara dan penyembuh luka. Dari situ aku menyesal dan tak akan lagi meninggalkan sahabat hanya untuk pacar. Karena sahabat tidak akan meninggalkan, tetapi pacar akan meninggalkan pacar demi pacar lain. 


***









Analisis unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur Intrinsik:

A. Judul: Cinta Teman Terbaik

B. Tema: persahabatan

C. Alur: maju

D. Sudut pandang: tokoh utama pelaku utama, menggunakan kata “aku”

E. Deskripsi Tokoh dan penokohan: 
  1. Alin berparas manis, bertubuh tinggi dan kulitnya sawo matang: baik, pemaaf, 
  2. Siska: baik namun pernah salah langkah karena sempat melupakan sahabat hanya karena orang baru.

F. Latar : 
  1. Waktu: pagi dan siang hari.
  2. Tempat: kost, kampus, stasion, dalam kereta.

G. Amanat : kalau punya teman baru, teman lama jangan dilupakan.


Unsur ekstrinsik:
A. Nilai sosial: saling memberi perhatian di saat sakit

B. Nilai pendidikan: semangat belajar di kampus yang baru

C. Nilai budaya: memberi kejutan saat  ulang tahun

D. Nilai keagamaan: sholat bersama dan saling mengingatkan di saat lalai sholat






Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa. Karena baru saja datang, lelaki itu akhirnya duduk di antrian paling belakang. Satu jam sudah ia duduk mengantri di tempat itu. Beberapa saat kemudian, tibalah kakek itu di antrian paling depan. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna merah yang ia bungkus dengan kresek berwarna hitam dan menyerahkannya kepada si petugas kelurahan. Si petugaspun langsung memeriksa satu per satu isi map merah milik kakek tadi.

“Maaf pak, tapi syarat-syarat bapak kurang lengkap. Bapak harus meminta surat keterangan tidak mampu dari ketua RT dan RW, baru bapak bisa kembali lagi kesini. Kata si petugas kelurahan sambil menyerahkan kembali map merah milik kakek.

Lelaki tua itu tetap berusaha tersenyum, sudah lebih dari sejam ia duduk menunggu disana namun ternyata semua itu sia-sia. Ia kembali menuju sepeda onthel tuanya yang diparkir diantara beberapa mobil dan sepeda motor.

Kakek tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan, sudah banyak pengalaman pahit manis yang dialaminya. Ia telah kehilangan banyak sekali teman-teman seperjuangannya, tapi kematian teman-temannya tersebut tidaklah sia-sia. Mereka semua adalah para syuhada, mereka semua mati syahid, mati di jalan Illahi sebagai bunga bangsa.

Lelaki tua itu tiba-tiba tersentak mendengar klakson bis yang membangunkannya dari lamunan masa lalunya. Tak terasa ternyata ia telah berada di jalan raya, itu artinya ia harus lebih berhati-hati lagi.

Kakek itu sekarang tinggal bersama istrinya di kolong jembatan setelah rumah mereka digusur polisi seminggu lalu. Tapi sayangnya sang istri sekarang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit, sementara si kakek sedang mengusahakan pengobatan gratis bagi istrinya tersebut.
Tiba-tiba anngin berhembus semakin kencang, suara petir mulai terdengar dan awanpun berubah menjadi hitam tanda akan turun hujan. Dan benar saja, hujan turun dengan derasnya. Si kakek memutuskan untuk berteduh di emperan toko karena tak ingin map yang dibawanya tersebut menjadi basah dan rusak.

Ternyata dari tadi lelaki tua itu berteduh di depan warung sate, pantas saja perutnya merasa semakin lapar. Ia ingat bahwa terakhir ia makan sudah sejak tadi malam, sedangkan sekarang sudah jam dua lebih. Sekilas ia menengok ke dalam warung sate tadi, di dalamnya banyak orang sedang makan dengan lahapnya. Lelaki tua itu pun tersenyum, ia merasa bangga karena perjuangannya dulu saat mengusir kompeni dari tanah airnya tidaklah sia-sia. Bila ia dan teman-teman seperjuangannya dulu gagal mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa menikmati suasana seperti ini.

Kakek tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari tadi di setel oleh seorang pedagang kaset yang berjualan tak jauh darinya. Televisi itu sedang menyiarkan seorang berpakaian jas hitam rapi dengan mengenakan dasi sedang berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya sangat mewah. Si lelaki tua itu menebak bahwa orang yang sedang muncul di televisi tadi pastilah seorang pejabat negerinya. Dalam pidatonya, orang itu mengatakan bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya. Sejenak ia berpikir merenungi kata-kata pejabat itu. Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang tidak punya nasionalisme, rakyat negerinya atau para pejabat itu?

Apakah pejabat yang bernasionalisme adalah pejabat yang makan kekenyangan saat rakyatnya mati kelaparan? Apakah pejabat yang nasionalis adalah para pejabat yang bebas liburan keliling dunia saat rakyat di negerinya antri bbm hingga berhari-hari? Atau pejabat yang punya banyak mobil mewah saat rakyatnya berdesakan di gerbong kereta api?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus memenuhi pikirannya, namun ia sadar ia harus pergi sekarang. Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya dan hujan pun kini telah reda, lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya.

Sesampainya di rumah sakit kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan langsung bergegas menuju kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa kakek itu selalu merasa tak tenang setiap jauh dari istrinya. Ia akan memastikan dulu bahwa istrinya tak membutuhkan bantuannya, baru ia akan berangkat lagi untuk mengurus surat keringanan ke ketua RT dan RW.

Saat sampai di depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa kamar sudah dalam keadaan kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan terkunci sehingga tak bisa dibuka, padahal kakek itu yakin ia tidak salah kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa mungkin istrinya telah sembuh sehingga dipindahkan ke tempat lain oleh dokter. Namun untuk memastikan, si kakek mencari seorang dokter yang tadi pagi memeriksa keadaan istrinya. Si kakek pun menanyakan kepada dokter tadi dimana istrinya sekarang berada. Dokter pun menatap wajah si kakek dengan mata berkaca-kaca.

“Maaf pak, kami sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Allah berkehendak lain. Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu.” Kata si dokter yang tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah yang dibawanya jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang sudah tak ingat apa-apa lagi.

Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang satu bertuliskan Darsono bin Atmo, seorang veteran tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya lagi bertuliskan Pariyem binti Ngatijo, istri dari sang veteran pejuang. Meskipun sang veteran miskin itu sekarang telah tiada. Namun di negerinya, negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari.










































1. Tema
: Perjuangan
2. Sudut Pandang
: Orang ketiga
3. Amanat
: Tetaplah sabar dan tetap berjuang sesulit apapun keadaan.
4. Alur
: campuran
Perkenalan : Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa
Penampilan masalah: bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya.
Klimaks: Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu
Klimaks : negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari.
5. Latar :




:Tempat: kantor balai desa, emperan toko, rumah sakit.
Waktu: siang hari, jam dua siang.
Suasana: sedih, mengharukan.
6. Penokohan :




Kakek Tua : pekerja keras, penyabar, ramah.
Istri : setia, penyabar.














        LIANG HARIMAU
Gus tf Sakai


Karena pagi buta, tak ada yang tahu bagaimana peristiwa sebenarnya. Tapi seorang wartawan, yang mengutip keterangan polisi, menulis berita begini:
”… Pembunuhan itu terjadi sekitar pukul 05.00. Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun menolak memberikan upah yang ia minta.”
Dan hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim digiring ke ruang sidang. Seperti sidang-sidang lalu, wajah Sadim masih tampak terheran-heran, celingukan mencari-cari, atau kadang bagai termangu. Dan pakaian putih-putihnya yang lusuh—terlihat nyaris cokelat karena bekas-bekas tanah yang tak mau hilang; cara duduknya yang aneh—membungkuk dalam dengan dua tangan jatuh telentang bagai ditampungkan di pangkuan, melengkapkan kesan lelaki 40-an tahun yang menyebut diri urang Rawayan itu seolah tak berada di dalam ruang sidang.Dan memang, sebenarnyalah, Sadim tidak sedang berada di dalam ruang sidang.Ia berada pada suatu tempat dalam pikirannya: Liang Harimau.
Liang Harimau, atau dalam bahasa urang Rawayan disebut Liang Maung, terletak di kaki Gunung Rorongocongok. Merupakan hutan lindung yang tak boleh dirambah, tetapi entah bagaimana Rasikun bisa memiliki sebidang tanah sangat luas lalu membuka ladang di sana. Dan Sadim, yang telah dua tahun ini bekerja serabutan di kampung-kampung sekitar, pun menerima kontrak kerja dari Rasikun. Dengan upah empat liter beras perhari, setiap dinihari, dari rumah si majikan, Sadim berangkat ke Liang Harimau.
Sebetulnya, berat bagi Sadim menerima pekerjaan itu. Bukan karena luas atau liarnya hutan yang harus dirambah, tetapi karena Liang Harimau bagi mereka urang-urang Rawayan adalah salah satu hutan yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya ruh nenek moyang. Orang-orang luar tangtu (kampung) seperti Rasikun mungkin hanya mengenal lokasi itu sebagai ”angker”, tetapi bagi urang-urang Rawayan Liang Harimau adalah tempat ruh nenek moyang turun bermain setelah hidup abadi di lemah bodas (surga). Tanpa harus ditegur Puun atau Kepala Adat pun, takkan ada urang Rawayan yang berani sembarangan ke—apalagi ”mengganggu” di—Liang Harimau.
Tetapi begitulah, betapa sulitnya memperoleh pekerjaan. Sejak tanah humanya mulai tandus dan hasil panennya tak pernah lagi cukup pengisi leuit atau lumbung padi keluarga, Sadim terpaksa mencari kerja ke tangtu atau kampung-kampung luar untuk mendapat tambahan atau upah apa saja. Kadang, melihat sawah atau tanah kampung-kampung luar yang seperti bisa ditanami selamanya, ia berpikir dan kemudian heran, kenapa adatnya tak membolehkan urang-urang Rawayan memakai apa yang disebut orang-orang kampung luar sebagai pupuk? Dan juga, kenapa para leluhur tak membolehkan mereka bertanam padi dengan cara bersawah? Ah, larangan-larangan itu: tak boleh merokok, mandi menggunakan sabun, memiliki alat rumah tangga yang terbuat dari barang pecah-belah; dilarang memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing; dilarang tidur berbantal dan bertikar, memakai pici, naik kendaraan….
Tetapi, larangan dari Rasikun, sungguh di luar perkiraan Sadim.
Tiga hari sebelum pembunuhan itu, Sadim dikunjungi saudaranya dari Cibeo yang khusus datang ke rumah Rasikun mengabarkan bahwa orang-orang kampungnya akan menggelar upacara Ngasep Serang. Inilah upacara adat sangat penting, upacara membakar lahan sebelum musim tanam, yang harus diikuti oleh segenap warga urang Rawayan. Bagi Sadim, larangan-larangan atau pantangan-pantangan lain yang sangat banyak itu—dengan mencuri-curi—masih bisa dirinya langgar. Tetapi upacara Ngasep Serang, bahkan andai tak diwajibkan hadir pun, sungguh Sadim tak berani.
”Ngasep Serang? Upacara apa itu?” tanya Rasikun, dalam bahasa Sunda bercampur Rawayan, ketika Sadim minta izin tak berangkat kerja ke Liang Harimau, nanti, di hari upacara, karena harus pulang ke Cibeo.
Sadim pun menerangkan. Entah karena memang kurang peduli, atau entah karena Sadim menerangkan dengan banyak kata dan istilah dalam bahasa Rawayan, Rasikun tak begitu mengerti. Tapi dengan tahu bahwa Ngasep Serang adalah semacam upacara agar tanaman urang Rawayan nantinya berhasil baik dan diberkati Sahiyang Tunggal (Tuhan), Rasikun merasa cukup. Memang Sadim menyebut-nyebut Girang Puun, puun tertua, Jaro Tangtu, jaro pengurus masalah-masalah adat, Tangkesan, pembantu Puun yang mengurus masalah pertanian, dan Dukun dan Penujum yang mengurus masalah keagamaan dan upacara-upacara adat, tetapi bukankah Sadim tidak salah seorang dari mereka?
”Kalau kau tak ada, Sadim, bukankah upacara itu tetap terselenggara?” tanya Rasikun.
Sadim bingung. Diam, tak bisa menjawab.
”Kau tak boleh pulang. Ladang di Liang Harimau sudah harus bisa ditanam sebelum musim hujan.”
Dan hari itu, Sadim berangkat kerja ke Liang Harimau dengan hati gundah. Di sepanjang jalan, ia terbayang leuit yang kosong. Juga tanah huma yang tandus. Ketakhadirannya di Ngasep Serang tak hanya akan membuat tanah dan tanaman marah, tetapi, seperti pernah dibilang Penujum, ”Seluruh alam dan isinya bakal melawan, jadi musuh urang, mengincar di kala sempat.” Mengincar? Sebelum pulang, senja itu, Sadim merasa ada sepasang mata mengawasinya. Saat ia menoleh ke seberang sungai—sungai kecil yang meliuk mengalir dari pinggang Gunung Rorongocongok sekaligus pembatas tanah Rasikun, Sadim terkejut: seekor harimau! Seekor harimau menatap nanap ke arahnya!
Sadim pulang dengan menggigil. Ketakutan. Saat ia ceritakan kepada Rasikun, si majikan tertawa seraya bilang tentu saja wajar di hutan selebat itu hidup bermacam binatang buas termasuk harimau. ”Kau tahu, mereka tak bakal mengganggu, takkan melakukan apa-apa sepanjang kita juga tak mengganggu mereka,” tambah Rasikun. Tetapi, besoknya, senja juga, Sadim kembali mendapati si harimau ada di sana. Menatap, bukan hanya nanap—tetapi kini bagai mengancam, ke arahnya. Sungai itu … sungai kecil itu, tidakkah bisa saja dilompati olehnya?
Saat pulang, Sadim merasa harimau itu mengikutinya.
Dan lalu, besoknya, pembunuhan itu terjadi, di pagi buta.
Dan begitulah hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim berada di ruang sidang. Dan seperti sidang-sidang lalu, majelis hakim kembali tampak seolah kebingungan, kehilangan akal, mendapati jawaban Sadim yang bagai tak nyambung, tak runut, bahkan tak sesuai dengan berita acara pemeriksaan.
”Nu maneh tempo harita teh saha (dulu, yang kau lihat itu siapa),” tanya Kepala Desa Kanekes menerjemahkan pertanyaan Ketua Majelis Hakim tentang siapa yang ditusuk Sadim sekitar pukul 05.00 enam bulan lalu itu.
”Maung (harimau),” jawab Sadim, lirih ….
Unsur intrinsic :
1. Tema :
2. Sudut Pandang : Orang Ketiga
3. Amanat : -
4. Alur : campuran
klimaks : . Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun menolak memberikan upah yang ia minta.”

5 : Latar: Hutan , Rumah Rasikin , ruang sidang
6.Penokohan: Rasikin : egois ,sombong
                        Sadim : Jujur







9 Fiction
Saya mempunyai beberapa teman sekelas yaitu, Afif , Cepy , Gery , Rifki , Irfan dan Riki.
Pada hari Kamis itu kami mendapat tugas dari seorang guru IPA untuk membuat percobaan tentang Bioteknologi, tetapi kami tidak mengerjakannya pada hari itu! karna kami mempunyai kesibukan masing-masing jadi kami mengerjakannya pada hari rabu pulang sekolah minggu depannya dan  itu pun dilaksanakan bersamaan dengan latihan menari.
Pada awalnya kami akan latihan menari dulu di Sekolah tetapi karna ada teman kami yang merayakan ulang tahun Rizal(teman satu sekolah kami)  jadi kami ikut merayakannya walaupun sebenarnya kami hanya ingin merasakan kue ulang tahunnya, kebanyakan dari kami hanya memakan kue dan lupa member ucapan selamat terhadap Rizal. Karna keasyikan kami lupa untuk latihan menari, jadi kami buru buru pergi ke rumah Gery untuk berlatih tetapi Afif tidak ikut karna ada urusan.
Sesampainya dirumah Gery kami beristirahat dulu sejenak sambil menunggu Rifki dan Irfan yang kalah cepat oleh kami, Gery pun datang dan membawakan seikat pisang dan sebotol air dingin, Tidak lama Rifki dan Irfan pun datang kami pun menikmati makanan itu dengan lahap. Pada saat menikamati makanan itu RIfki mendapat Telepon dari Afif yang ternyata ingin dijemput didepan komplek karna akan  ikut kerja kelompok , karna jarak dari rumah  Gery menuju  depan komplek jauh jadi kami memutuskan untuk menjemput Afif dan pergi ke rumah Rifki yang jaraknya agak dekat dari depan komplek. Pada saat diperjalanan saya hampir jatuh dari motor karna jalannya yang berlumpur karna terkena air hujan, tetapi karna keahlian saya mengnedarai motor saya tidak jadi jatuh.
Sesampainya di rumah Rifki bersama Afif kami pun beristirahat kembali  di kamar Rifki yang ada di atas kami pun bercakap-cakap dan ada seseorang yang bicara kepada RIfki ingin memakan sesuatu, Tidak lama Rifki pun memanggil Ibunya yang ada di bawah dengan logat sundanya yang khas” Mah ieu rerencangan hoyong tuang”, Gery pun berkata “Padahal sakalian jeung fanta-na”, Rifki pun berteriak lagi “Sakalian jeung Fantana cenah”, Kami pun tertawa karna sebenarnya kami hanya bercanda.
Kami pun pergi kebawah untuk berlatih ,tidak lama Ibu Rifki dating membawa makanan ,Kami hanya tersenyum malu karna pada walnya kami hanya bercanda. latihan pun berjalan tidak terlalu baik karna kami tidak hafal gerakannya. tiba tiba hujan turun ,kami pun kaget karna kami belum mengerjakan tugas Bioteknologi,terutama Afif karna ia juga harus les, jadi pada saat hujan mereda kami mengantar Afif untuk les dan lekas pergi ke rumah kenalan Rifki yang mempunyai usaha membuat Roti rumahan untuk meminta bantuan.
Pada saat diperjalanan hujan pun turun kembali kami akhirnya berteduh di sebuah saung yang tidak jauh dari tempat pembuat roti. Rifki dan Irfan memutuskan untuk pergi ke rumah pembuat roti itu agar tugas cepat selesai jadi saya , Cepy , Gery dan Riki pun menunggu di saung yang juga adalah tempat ronda,. setelah beberapa menit Rifki dan Irfan pun keluar menghampiri kami pada saat hujan gerimis ,kami menyangka semuanya telah selesai ternyata masih ada proses untuk meng-oven roti,ternyata dirumah itu hanya membuat adonan saja dan nanti akan di oven di toko kecil yang agak jauh dari tempat itu.kami pun pergi walau hujan gerimis,pada saat sampai di took Rifki mengusulkan agar roti dibentuk kata kata 9F kami pun setuju ,tetapi Riki mengusulkan kata kata 9Fiction yang artinya 9 Fiksi saya tidak tau mengapa ia ingin kata kata itu tetapi kami menyetujuinya, karna Rifki takut hujan semakin membesar ia menyuruh kami untuk pulang dan sisanya ia yang mengerjakan,kami pun menyetujuinya karna memang langit semakin gelap.
Keesokan harinya kami menyerahkan roti yang berbentuk 9-FICTION sebagai hasil dari tugas yang diberikan kepada kami. akhirnya kami mendapat nilai tertinggi dari Guru atas hasil karya kami…..



Unsur intrinsic :
1.Tema : Usaha , Pertemanan
2. Sudut Pandang : orang pertama
3. Amanat : kebersamaan adalah hal yang paling indah.
4. Alur : maju
perkenalan : Saya mempunyai beberapa teman sekelas yaitu, Afif , Cepy , Gery , Rifki , Irfan dan Riki.
penampilan masalah : kami tidak mengerjakannya pada hari itu! karna kami mempunyai kesibukan masing-masing
Klimaks : lupa untuk latihan menari, jadi kami buru buru pergi…
anti klimaks : Sesampainya dirumah Gery kami beristirahat dulu sejenak sambil menunggu Rifki dan Irfan yang kalah cepat oleh kami
klimaks: RIfki mendapat Telepon dari Afif yang ternyata ingin dijemput didepan komplek karna akan  ikut kerja kelompok
anti klimaks: beristirahat kembali  di kamar Rifki yang ada di atas kami pun bercakap-cakap
penyelsaian : Keesokan harinya kami menyerahkan roti yang berbentuk 9-FICTION sebagai hasil dari tugas yang diberikan kepada kami. akhirnya kami mendapat nilai tertinggi dari Guru atas hasil karya kami…..
 5. Latar : sekolah , rumah Rifki , Rumah Gery
6. Penokohan :
afif : Baik
Aughy : Baik
Cepy : Baik
Gery : Baik
Irfan : Baik
Rifki : Baik dan Humoris
Riki : Baik

Comments

Popular posts from this blog

Cerpen Bahasa Bali

Makeber Ring Muncuk Carang Alit Mahenyak akijap, manyingakin kabut kabut sane tebel makeber ring duur gadinge matan ai. Ngiring medalnyane ring paraduan. Semilir angine, dingin tuah , nutupin panyingakan lan ngerasain ia ngebelai jidat, bok, lan atma ipune.   nagih ngaba ia majalaran, joh ring langite. Nyingakin gumi sane kainjek. “enggalang mulih Atrayu, Suudang metik bunga mitir”, meme nyeritang ring pinggir jalane. Atrayu kehenyak ring lamunanne, lantas meresang bungan mitir sane sampun kapetik ituni,lantas malaib, ring tengah padang gadang tegeh. Niki kahidupanne, Atrayu, ia lan kulawargane tinggal ring Bali, tepatnyane ring bedugul sane kaletak ring bukit. Dini suhune dingin, bek entik-entikan gede tegeh, penduduknyane bek sane berkebun lan madagang. Akudang menit ring ladange, anak muani nguda bagus nemuin ia, “gek, margi ka   peken lewatin dija nggih?”,  “lurus, saking pertigaan belok kanan, beli ikutin jalanne nika, pekenne bakal kaliatin ring pinggir margi

Berita Bahasa Bali

Berita Bahasa Bali Gradag – grudug, Belog Ajum, Ngapung             Nedeng tengai tepet. Sakewala Komang Santiyasa ( 22 ) suba siaga di bale banjar. Mabaju malengen. Warnane selem, barak di lengen. Matopong barak mekamen selem, mesaput poleng. Lenan teken ento masi makaca mata selem tur masepatu. “ Sekaa layangan lakar meadu jani di Padanggalak, tiang suba maan duman tugas, ” keto abetne Komang Santiyasa. Komang maan duman tugas ngaba bendera. Ento awanane Komang majalan tanggu malu. Magandeng ajak timpalne ane negakin motor knalpot mabedel, munyin motor ane tegakina teken Komang gumanti ngebekin gumi. Gruung, gruung,gruung......!             Di subaane sekaane majalan, Komang ngotek – ngotekang bendera ane abane. Komang ngemaang cihna apang anake majalan di malu nyamping. Tusing ja Komanh Santiyasa dogen ane buka keto. Di nuju masan layangan buka janine, liu muani –muani Baline ane buka punyah. Makejang pada ngae layangan ngae layangan saling pagedenin, saling paaengin. Ap