Kumpulan Cerpen & Unsur Intrinsik - Ekstrinsiknya
MARTINI
Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara banyak kisah mengenai tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung. Tidak jarang seorang TKW pulang ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin yang dikandungnya. Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba – tiba menjadi bahan pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang sudah ditentukan oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau tajamnya logam pancung yang kemudian membuat kedubes RI, Deplu dan Depnaker kelimpungan dan tampak lebih sibuk.
Sangatlah beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan. Majikannya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus mengasuh putra sang majikan yang sebaya dengan Andra, putranya. Hal ini membuatnya selalu teringat putranya sendiri dan menambah semangat dalam bekerja.
Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh pikiran tersebut. Ia tidak ingin suuzon dengan suaminya.
“mungkin hal ini disebabkan karena kedatanganku yang memang terlambat tiga hari dari jadwalkepulangan yang direncanakan sebelumnya,” pikirnya huznuzon.
Dan pikiran ini malah membuatnya merasa bersalah, karena ia tidak memberitahukan kedatangannya melalui telepon sebelumnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh karena ia tidak tahu dimana pool bus maju lancar terdekat dari bandara soekarno-hatta, ia berharap diterminal pulogadung ia bisa langsung menemukan bus tersebut dan membawanya ke wonosari dengan nyaman, karena badannya sekarang sudah terlalu letihuntuk perjalanan panjangyang ditempuh dari arab Saudi.
Tanpa ia sadari, martini telah sampai didepan rumahnya, rumah yang merupakan warisan ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra dan ibunyayang telah renta. Namun bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang ia lihat hanyalah rumah tua tanpa berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi didekat rumahnyayang kini telah kosong. Sama keadaanya dengan tiga tahun lalutatkala ia meninggalkan rumah tersebut.
“ mana rumah baru yang mas koko bangun seperti yang ada difoto yang mas koko kirimkan tiga bulan yang lalu. Apakah ia membeli tanah ditempat lain dan membangunnya disana. Kalau begitu syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon.
Ia ketuk perlahan – lahanpintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul membukakan pintu “kulo nuwun, mas…! Andra…! Mbok…!”
Beberapa saat kemudian barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.” Madosi sinten mbak?” Tanya seorang bocah berusia 6 tahun yang tak lain adalah andra yang muncul dari balik pintu.
“Andra aku ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal kedatanganku?” ucap martini balik bertanya.
“Ayah? Kedatanagn ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra bangunkan mbah dulu,” ujar Andra sambil berlari menuju kearah kamar neneknya.
Martini masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan depan, seraya memperhatikan keadaan didalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut. Keadaan dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang berarti.
“Martini ya. Wah – wah anakku sudah datangdari perantauan,” terdengar suara tua khas ibu martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan anaknya, diikuti oleh andra , membawakan segelas the hangat.
“bagaimana keadaan simbok disini?”, Tanya martini.
“oh, anakku simbok di sini baik – baik saja, kamu sendiri bagaimana, tini?” “saya baik – baik saja mbok, ngomong – ngomong mas koko dimana mbok?” Tanya martini. Mendengar pertanyaan itu, tiba – tiba air muka ibu martini berubah, ia tampak berpikir – piker sejenak.
“ oh mengenai suamimu, nanti akan simbok ceritakan, sebaiknya kamu ngaso dulu. Kau pasti capek setelah melakukan perjalanan jauh. Jangan lupa the hangatnya diminum dulu,” saran ibu martini.
Martini menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas the hangat, ia mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan suaminya ; dimana dia, apakah dia merantau ke Jakarta untuk turut mencari nafkah diperantauan, dimana letak rumah barunya, atau apakah mas koko malah meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita lain?”
“ah tidak mungkin,” pikirnya kembali berusaha untuk tetap huznuzon.
Ia mencoba bangkit lalu menemui ibunya yang sedang memasak dipawon.
“maaf Mbok, dimana mas koko, tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar martini membuka kembali percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak, lalu berdiri dan mengambil segelas air putih dingin dari kendi.
“ minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini, nanti simbok ceritakan di mana suamimu berada, kalau kamu memang sudah tidak sabar.”
Sementara itu martini bersiap untuk mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya.
“ tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya dari kamu sudah jadi. Letaknya didusun sebelah sana, namun sejak itu pula kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu adalah tetangga barunya. Dua bulan lalu mereka menikah dan meninggalkan andra bersama simbok. Tentu saja simbok marah besar kepadanya. Namum apa daya, simbok hanyalah wanita yang sudah renta, sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok pegangpun pas – pasan. Mau mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan simbok buta huruf. Mau minta tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku satu – satunya. Kamu tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong untuk mengirimkan surat kepadamu, sedangkan anakmu, andra masih kelas 1 SD”.
Mendengar penuturan ibunya, martini langsuung menangis, ia sedih marah dan kalut.
“mengapa simbok tidak melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah berjanji untuk membantu simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan suamimu sendiri dan istri barunya , tampak tak peduli denagn suara – suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok tidak berfikir sampai kesitu, maafkan simbok,” tambah ibunya dengan suara yang terdengar bergetar.
“Duh Gusti...., paringono sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap ingat kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang begitu ia cintai dan ia percaya, dapat berbuat begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia sekarang tinggal bersama istri barunya, di rumah hasil jerih payahnya selama tiga tahun merantau di Arab Saudi.
"Mbok, di mana rumah baru itu berada?”
wajah ibunya terlihat ketakutan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan anaknya dalam keadaan kalut di sana apabila ia tahu letak rumah tersebut.
"Mbok,d i mana Mbok,” Suara Martini semakin tinggi, namun ibunya tetap diam.
,”Kenapa simbok tidak mau membertihu. Apakah Simbok merestuinya?_Apakah simbok mendukungnya? Apakah Simbok membela bajingan itu dari pada saya anakmu sendiri? Apakah.....”
“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu mau menjadi anak durhaka? Ingatlah kamu kepada Tuhan,Nak, ingatlah kepada Gusti Allah,N ak"
Kalimat itu muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar ucapan pedas anaknya tersebut.
“ya sudah kalau Simbok tidak mau memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” teriak Martini seraya meninggalkan ibunya yang sangat bersedih, yang berusaha mengejarnya namun kemudian jatuh tersungkur di halam depan rumahnya karena tidak mampu lagi mengeiarnya.
“Hei , mana Koko, bajingan sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, menyusuri jalan dengan muka merah Padam.
Pikrannya kacau balau.
“Buat apa aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan.Andra tetapi mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan tinggal di sana bersama istri barumu,
Kurang apa aku?”
Mendengar teriakan Martini, kontan para tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan ulah Tini yang sudah tidak mereka lihat selama tiga tahun, tiba – tiba muncul kembali di dusun itu dengan tingkah laku yang berubah 180 derajat. Martini yang dulunya lembut, penurut, kini kasar dan beringasan. Apakah ia telah gila? Apakah yang telah terjadi terhadap dirinya di Arab saudi? Apakah ia
Dianiaya sebagaimana sering terdengar berita di media massa mengenai TKW yang disiksa?.
Namun kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan Martini. Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan tetangganva itu. Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu, keluar dari rumahnya. Koko tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan istri barunya itu
terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang meletakkan keduavtangannya dipinggang koko.
,,” hei, siapa kamu. Tini ya. Kenapa kamu kesini? Ini rumahku bersama mas koko. Bukannya kamu sudah mati, kalau belum mendingan kamu mati saja sekarang. Itu lebih baik, dari pada mau merusak kebahagiaan kami. Bukan begitu mas koko?” ujar wanita yang ada disebelah koko sambil mengalungkan tangan kanannya dileher koko dengan lembutnya.
Hal ini jelas membuat tini makin marah.
“hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko adalah suamiku. Dan kau koko, mengapa kau tega menipuku, meninggalkanku hanya untuk menikahi wanita keparat ini. Dasar bajingan.”
Dekapan tetangga yang memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih sebuah bamboo yang tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko dan istri barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam rumah baru itu. Secepat kilat ia mengayunkanbambu itu ke arah mereka berdua. Namun malang, belum sampai bamboo itu mengenai sasaran, ia kehilangan keseimbangan. Ia terpeleset dari dua anak tangga dan jatuh terjerembab tak sadarkan diri.
Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa. Karena baru saja datang, lelaki itu akhirnya duduk di antrian paling belakang. Satu jam sudah ia duduk mengantri di tempat itu. Beberapa saat kemudian, tibalah kakek itu di antrian paling depan. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna merah yang ia bungkus dengan kresek berwarna hitam dan menyerahkannya kepada si petugas kelurahan. Si petugaspun langsung memeriksa satu per satu isi map merah milik kakek tadi.
“Maaf pak, tapi syarat-syarat bapak kurang lengkap. Bapak harus meminta surat keterangan tidak mampu dari ketua RT dan RW, baru bapak bisa kembali lagi kesini. Kata si petugas kelurahan sambil menyerahkan kembali map merah milik kakek.
Lelaki tua itu tetap berusaha tersenyum, sudah lebih dari sejam ia duduk menunggu disana namun ternyata semua itu sia-sia. Ia kembali menuju sepeda onthel tuanya yang diparkir diantara beberapa mobil dan sepeda motor.
Kakek tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan, sudah banyak pengalaman pahit manis yang dialaminya. Ia telah kehilangan banyak sekali teman-teman seperjuangannya, tapi kematian teman-temannya tersebut tidaklah sia-sia. Mereka semua adalah para syuhada, mereka semua mati syahid, mati di jalan Illahi sebagai bunga bangsa.
Lelaki tua itu tiba-tiba tersentak mendengar klakson bis yang membangunkannya dari lamunan masa lalunya. Tak terasa ternyata ia telah berada di jalan raya, itu artinya ia harus lebih berhati-hati lagi.
Kakek itu sekarang tinggal bersama istrinya di kolong jembatan setelah rumah mereka digusur polisi seminggu lalu. Tapi sayangnya sang istri sekarang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit, sementara si kakek sedang mengusahakan pengobatan gratis bagi istrinya tersebut.
Tiba-tiba anngin berhembus semakin kencang, suara petir mulai terdengar dan awanpun berubah menjadi hitam tanda akan turun hujan. Dan benar saja, hujan turun dengan derasnya. Si kakek memutuskan untuk berteduh di emperan toko karena tak ingin map yang dibawanya tersebut menjadi basah dan rusak.
Ternyata dari tadi lelaki tua itu berteduh di depan warung sate, pantas saja perutnya merasa semakin lapar. Ia ingat bahwa terakhir ia makan sudah sejak tadi malam, sedangkan sekarang sudah jam dua lebih. Sekilas ia menengok ke dalam warung sate tadi, di dalamnya banyak orang sedang makan dengan lahapnya. Lelaki tua itu pun tersenyum, ia merasa bangga karena perjuangannya dulu saat mengusir kompeni dari tanah airnya tidaklah sia-sia. Bila ia dan teman-teman seperjuangannya dulu gagal mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa menikmati suasana seperti ini.
Kakek tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari tadi di setel oleh seorang pedagang kaset yang berjualan tak jauh darinya. Televisi itu sedang menyiarkan seorang berpakaian jas hitam rapi dengan mengenakan dasi sedang berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya sangat mewah. Si lelaki tua itu menebak bahwa orang yang sedang muncul di televisi tadi pastilah seorang pejabat negerinya. Dalam pidatonya, orang itu mengatakan bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya. Sejenak ia berpikir merenungi kata-kata pejabat itu. Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang tidak punya nasionalisme, rakyat negerinya atau para pejabat itu?
Apakah pejabat yang bernasionalisme adalah pejabat yang makan kekenyangan saat rakyatnya mati kelaparan? Apakah pejabat yang nasionalis adalah para pejabat yang bebas liburan keliling dunia saat rakyat di negerinya antri bbm hingga berhari-hari? Atau pejabat yang punya banyak mobil mewah saat rakyatnya berdesakan di gerbong kereta api?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus memenuhi pikirannya, namun ia sadar ia harus pergi sekarang. Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya dan hujan pun kini telah reda, lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya.
Sesampainya di rumah sakit kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan langsung bergegas menuju kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa kakek itu selalu merasa tak tenang setiap jauh dari istrinya. Ia akan memastikan dulu bahwa istrinya tak membutuhkan bantuannya, baru ia akan berangkat lagi untuk mengurus surat keringanan ke ketua RT dan RW.
Saat sampai di depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa kamar sudah dalam keadaan kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan terkunci sehingga tak bisa dibuka, padahal kakek itu yakin ia tidak salah kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa mungkin istrinya telah sembuh sehingga dipindahkan ke tempat lain oleh dokter. Namun untuk memastikan, si kakek mencari seorang dokter yang tadi pagi memeriksa keadaan istrinya. Si kakek pun menanyakan kepada dokter tadi dimana istrinya sekarang berada. Dokter pun menatap wajah si kakek dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf pak, kami sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Allah berkehendak lain. Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu.” Kata si dokter yang tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah yang dibawanya jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang sudah tak ingat apa-apa lagi.
Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang satu bertuliskan Darsono bin Atmo, seorang veteran tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya lagi bertuliskan Pariyem binti Ngatijo, istri dari sang veteran pejuang. Meskipun sang veteran miskin itu sekarang telah tiada. Namun di negerinya, negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari.
MARTINI
Wanita itu bernama
Martini. Kini ia kembali menginjakkan kakinya di lndonesa, setelah tiga tahun
ia meninggalkan kampung halamannya yang berjarak tiga kilometer dari arah
selatan Wonosari Gunung Kidul.
Didalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan haru. Beberapa jam lagi ia akan berjumpa
Didalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan haru. Beberapa jam lagi ia akan berjumpa
kembali dengan suaminya, mas Koko
dan putranya Andra Mardianto, yang ketika ia tinggalkan masih berusia tiga
tahun. Ia membayangkan putranya kini telah duduk dibangku sekolah dasar
mengenakan seragam putih – merah dan menmpati rumahnya yang baru, yang dibangun
oleh suaminya dengan uang yang ia kirimkan dari arab Saudi, Negara dimana
selama ini ia bekerja.
Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara banyak kisah mengenai tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung. Tidak jarang seorang TKW pulang ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin yang dikandungnya. Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba – tiba menjadi bahan pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang sudah ditentukan oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau tajamnya logam pancung yang kemudian membuat kedubes RI, Deplu dan Depnaker kelimpungan dan tampak lebih sibuk.
Sangatlah beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan. Majikannya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus mengasuh putra sang majikan yang sebaya dengan Andra, putranya. Hal ini membuatnya selalu teringat putranya sendiri dan menambah semangat dalam bekerja.
Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh pikiran tersebut. Ia tidak ingin suuzon dengan suaminya.
“mungkin hal ini disebabkan karena kedatanganku yang memang terlambat tiga hari dari jadwalkepulangan yang direncanakan sebelumnya,” pikirnya huznuzon.
Dan pikiran ini malah membuatnya merasa bersalah, karena ia tidak memberitahukan kedatangannya melalui telepon sebelumnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh karena ia tidak tahu dimana pool bus maju lancar terdekat dari bandara soekarno-hatta, ia berharap diterminal pulogadung ia bisa langsung menemukan bus tersebut dan membawanya ke wonosari dengan nyaman, karena badannya sekarang sudah terlalu letihuntuk perjalanan panjangyang ditempuh dari arab Saudi.
Tanpa ia sadari, martini telah sampai didepan rumahnya, rumah yang merupakan warisan ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra dan ibunyayang telah renta. Namun bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang ia lihat hanyalah rumah tua tanpa berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi didekat rumahnyayang kini telah kosong. Sama keadaanya dengan tiga tahun lalutatkala ia meninggalkan rumah tersebut.
“ mana rumah baru yang mas koko bangun seperti yang ada difoto yang mas koko kirimkan tiga bulan yang lalu. Apakah ia membeli tanah ditempat lain dan membangunnya disana. Kalau begitu syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon.
Ia ketuk perlahan – lahanpintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul membukakan pintu “kulo nuwun, mas…! Andra…! Mbok…!”
Beberapa saat kemudian barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.” Madosi sinten mbak?” Tanya seorang bocah berusia 6 tahun yang tak lain adalah andra yang muncul dari balik pintu.
“Andra aku ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal kedatanganku?” ucap martini balik bertanya.
“Ayah? Kedatanagn ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra bangunkan mbah dulu,” ujar Andra sambil berlari menuju kearah kamar neneknya.
Martini masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan depan, seraya memperhatikan keadaan didalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut. Keadaan dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang berarti.
“Martini ya. Wah – wah anakku sudah datangdari perantauan,” terdengar suara tua khas ibu martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan anaknya, diikuti oleh andra , membawakan segelas the hangat.
“bagaimana keadaan simbok disini?”, Tanya martini.
“oh, anakku simbok di sini baik – baik saja, kamu sendiri bagaimana, tini?” “saya baik – baik saja mbok, ngomong – ngomong mas koko dimana mbok?” Tanya martini. Mendengar pertanyaan itu, tiba – tiba air muka ibu martini berubah, ia tampak berpikir – piker sejenak.
“ oh mengenai suamimu, nanti akan simbok ceritakan, sebaiknya kamu ngaso dulu. Kau pasti capek setelah melakukan perjalanan jauh. Jangan lupa the hangatnya diminum dulu,” saran ibu martini.
Martini menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas the hangat, ia mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan suaminya ; dimana dia, apakah dia merantau ke Jakarta untuk turut mencari nafkah diperantauan, dimana letak rumah barunya, atau apakah mas koko malah meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita lain?”
“ah tidak mungkin,” pikirnya kembali berusaha untuk tetap huznuzon.
Ia mencoba bangkit lalu menemui ibunya yang sedang memasak dipawon.
“maaf Mbok, dimana mas koko, tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar martini membuka kembali percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak, lalu berdiri dan mengambil segelas air putih dingin dari kendi.
“ minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini, nanti simbok ceritakan di mana suamimu berada, kalau kamu memang sudah tidak sabar.”
Sementara itu martini bersiap untuk mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya.
“ tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya dari kamu sudah jadi. Letaknya didusun sebelah sana, namun sejak itu pula kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu adalah tetangga barunya. Dua bulan lalu mereka menikah dan meninggalkan andra bersama simbok. Tentu saja simbok marah besar kepadanya. Namum apa daya, simbok hanyalah wanita yang sudah renta, sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok pegangpun pas – pasan. Mau mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan simbok buta huruf. Mau minta tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku satu – satunya. Kamu tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong untuk mengirimkan surat kepadamu, sedangkan anakmu, andra masih kelas 1 SD”.
Mendengar penuturan ibunya, martini langsuung menangis, ia sedih marah dan kalut.
“mengapa simbok tidak melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah berjanji untuk membantu simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan suamimu sendiri dan istri barunya , tampak tak peduli denagn suara – suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok tidak berfikir sampai kesitu, maafkan simbok,” tambah ibunya dengan suara yang terdengar bergetar.
“Duh Gusti...., paringono sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap ingat kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang begitu ia cintai dan ia percaya, dapat berbuat begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia sekarang tinggal bersama istri barunya, di rumah hasil jerih payahnya selama tiga tahun merantau di Arab Saudi.
"Mbok, di mana rumah baru itu berada?”
wajah ibunya terlihat ketakutan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan anaknya dalam keadaan kalut di sana apabila ia tahu letak rumah tersebut.
"Mbok,d i mana Mbok,” Suara Martini semakin tinggi, namun ibunya tetap diam.
,”Kenapa simbok tidak mau membertihu. Apakah Simbok merestuinya?_Apakah simbok mendukungnya? Apakah Simbok membela bajingan itu dari pada saya anakmu sendiri? Apakah.....”
“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu mau menjadi anak durhaka? Ingatlah kamu kepada Tuhan,Nak, ingatlah kepada Gusti Allah,N ak"
Kalimat itu muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar ucapan pedas anaknya tersebut.
“ya sudah kalau Simbok tidak mau memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” teriak Martini seraya meninggalkan ibunya yang sangat bersedih, yang berusaha mengejarnya namun kemudian jatuh tersungkur di halam depan rumahnya karena tidak mampu lagi mengeiarnya.
“Hei , mana Koko, bajingan sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, menyusuri jalan dengan muka merah Padam.
Pikrannya kacau balau.
“Buat apa aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan.Andra tetapi mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan tinggal di sana bersama istri barumu,
Kurang apa aku?”
Mendengar teriakan Martini, kontan para tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan ulah Tini yang sudah tidak mereka lihat selama tiga tahun, tiba – tiba muncul kembali di dusun itu dengan tingkah laku yang berubah 180 derajat. Martini yang dulunya lembut, penurut, kini kasar dan beringasan. Apakah ia telah gila? Apakah yang telah terjadi terhadap dirinya di Arab saudi? Apakah ia
Dianiaya sebagaimana sering terdengar berita di media massa mengenai TKW yang disiksa?.
Namun kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan Martini. Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan tetangganva itu. Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu, keluar dari rumahnya. Koko tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan istri barunya itu
terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang meletakkan keduavtangannya dipinggang koko.
,,” hei, siapa kamu. Tini ya. Kenapa kamu kesini? Ini rumahku bersama mas koko. Bukannya kamu sudah mati, kalau belum mendingan kamu mati saja sekarang. Itu lebih baik, dari pada mau merusak kebahagiaan kami. Bukan begitu mas koko?” ujar wanita yang ada disebelah koko sambil mengalungkan tangan kanannya dileher koko dengan lembutnya.
Hal ini jelas membuat tini makin marah.
“hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko adalah suamiku. Dan kau koko, mengapa kau tega menipuku, meninggalkanku hanya untuk menikahi wanita keparat ini. Dasar bajingan.”
Dekapan tetangga yang memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih sebuah bamboo yang tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko dan istri barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam rumah baru itu. Secepat kilat ia mengayunkanbambu itu ke arah mereka berdua. Namun malang, belum sampai bamboo itu mengenai sasaran, ia kehilangan keseimbangan. Ia terpeleset dari dua anak tangga dan jatuh terjerembab tak sadarkan diri.
”Mbak – Mbak bangun Mbak. Mau turun
di mana Mbak. Ini sudah sampai di wonosari," terdengar sayup-sayup suara
pemuda yang duduk di dekat Martini.
"Astaghiirullaahaladzlm .Ha...apa...?.. W onosari," Tanya M artini.
“ Ya Mbak sepertinya dari tadi Mbak gelisah tidurnya" ujar pemuda itu
”Apakah benar ini wonosari?" Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan pandangannya keluar jendela.
Ya ini adalah daerah yang telah tiga tahun ia tinggalkan.
"Alhamdulillah ya. ,Allah terima kasih," batin Martini bahagia.
"Astaghiirullaahaladzlm .Ha...apa...?.. W onosari," Tanya M artini.
“ Ya Mbak sepertinya dari tadi Mbak gelisah tidurnya" ujar pemuda itu
”Apakah benar ini wonosari?" Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan pandangannya keluar jendela.
Ya ini adalah daerah yang telah tiga tahun ia tinggalkan.
"Alhamdulillah ya. ,Allah terima kasih," batin Martini bahagia.
UNSUR INTRINSIK
· Tema : percayalah pada niat baikmu
· Latar :
Tempat : dalam bis(dalam perjalanan) dan di
kampung
Waktu : tiga tahun setelah
kepergian martini ke Arab Saudi
Suasana : diawal cerita suasana yang timbul
basa saja, tetapi pada pertengahan cerita suasana yang timbul
Menegangkan karena adanya konflik yang timbul ketika tokoh utma bermimpi
· Plot/alur : alur cerita itu adalah alur maju(episode) karena
jalan cerita dijelaskan secara runtut. Pada awal cerita
diawali dengan pengenalan tokoh, kemudian si tokoh bermimpi, pada mimpinya
timbul suatu
pertentangan yang berlanjut ke konflik(klimaks) dilanjutkan dengan
antiklimaks dan pada akhir cerita
terdapat penyelesaian.
· Perwatakan :
Tokoh utama(martini) : wataknya yang sabar,lembut
,pekerja keras, bertanggung jawab terhadap
keluarga, hal ini di tunjukan dari penjelasan tokoh,penggambaran fisik
tokoh serta
tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama
Tokoh pembantu :
Mbok : sabar
Andra : patuh terhadap orang tua
Mas koko : tidak bertanggung jawab terhadap keluarga
· Sudut pandang : orang ketiga
· Mood/suasana hati :
kecurigaan,kesabaran,kecemburuan,penyesalan,kebahagiaan
· Amanat :
-Seharusnya
suami bertanggungjawab untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya
-Jangan dulu bersikap su’udzon kepada seseorang bila belum ada buktinya
- Keuletan dan ke
BANGKIT
Pandanganku pada langit tua. Cahaya
bintang berkelap kelip mulai hilang oleh kesunyian malam. Aku berjalan
menyusuri lorong malam sepi nan gelap. Cahaya bulan malam ini begitu indahnya.
Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Konflik dengan orang tua karena
tidak lulus sekolah. Hari ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan hadiah sepeda
motor yang terpaksa di kubur dalam-dalam karena tak lulus, belum lagi si adik
yang menyebalkan. Teman-teman yang konvoi merayakan kemenangan, sedang aku?
Hari-hari yang keras kisah cinta yang
pedas. Angin malam berhembus menebarkan senyumku walau sakit dalam hati mulai
mengiris. Sesekali aku menghapus air mataku yang jatuh tanpa permisi. Sakit
memang putus cinta.
Rasanya
beberapa saat lalu, aku masih bisa mendengar kata-kata terakhirnya yang
tergiang-ngiang merobek otak ku.
“sudah
sana… Kejarlah keinginanmu itu!, kamu kira aku tak laku, jadi begini sajakah
caramu, oke aku ikuti.. Semoga kamu tidak menyesal menghianati cinta suci ini.”
beberapa kata yang sempat masuk ke hpku, di ikuti telpon yang sengaja ku
matikan karena kesal atau muak.
Aku termenung di pinggir jalan,
memegang kepalaku yang sakit.
“selamat
malam..? Sorii mba kayanya lagi sedih banget boleh aku minta duitnya..” seorang
pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan,
Ia
mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mengancamku. Aku hanya terdiam tak
berkata, membuatnya sedikit binggung. Aku meraih tas di sampingku dan
menyerahkan padanya. “ini ambil semua.. Aku tak butuh semua ini. Aku hanya
ingin mati…!” Aku melemparkan tas ke hadapannya yang di sambut dengan senyum
picik dan iapun menghilang di gelapnya malam.
Aku bangkit berdiri dan berjalan
menyusuri malam, berdiri menatap air suangai yang mengalir airnya deras.Di sini
di atas jembatan tua ini. Angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku. Aku berdiri
menatap langit yang bertabur bintang, rasanya tak ada yang penting bagiku
sekarang. Perlahan-lahan aku berjalan menaiki jembatan dan berdiri bebas.
Menutup mata dan tinggal beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku perlahan
mengangkat kaki kananku dan…?
Tiba-tiba
sosok pemabuk yang menodong pisau padaku ku tadi, menarik baju ku dan menampar
pipiku kuat, keras sekali tamparannya
“ini
uang dan tas mu…!! Aku tak butuh..! Aku lebih baik mati kelaparan dari pada
melihat wanita lemah sepertimu” ia menarik ku turun dan melemparkan tasku di
atas tanah
Dan
ia berlalu pergi. Aku bangkit dan meraih tas ku kembali menyusuri tangga
turun. Sosok yang tadi, pria mabok yang ternyata seumuran denganku, di sekujur tubuhnya
penuh tato dan tubuhnya kurus sekali. Ia berdiri termenung pada tangga jalan.
Sesekali menatap langit dan menghapus air matanya.
“boleh
aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya tapi ia hanya terdiam membisu”.
Aku berdiri di sampingnya menunggu sampai kapan ia akan berdiri pergi dari
sini.
“kenapa
kamu menamparku..?
Kenapa
kamu menolongku?
Aku
sudah tak berarti lagi. Pria yang aku cintai bertahun-tahun mencapakanku dengan
tuduhan yang tak jelas, aku memulai pembicaraan”.
Dengan
sesekali menghapus air mata akibat dari gejolak di hatiku. “apa kamu akan
terdiam atau aku telah mengusikmu?”. Aku melihatnya dan ia balik menatapku
tajam. Aroma alkohol dari mulutnya jelas tercium saat ia bicara “maafkan aku..?
Sungguh aku minta maaf, menurut ku kamu terlalu lemah, masalah apapun jangan
berhenti untuk bangkit, bukankah setiap hari kita merasakan hal yang sama? Ia
berkata sembari mengulurkan tangannya yang ternyata cuma 2 jari yang utuh, Aku
mulai merinding karena sedikit takut. Sehingga aku tak membalas uluran
tangannya. “kaget ya mbak?. Jari ku yang lain di potong oleh preman karena
persaingan. Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh
nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit. Harus rela kedinginan, Di
gigit nyamuk dan tempat ku tertidur hanya di emperan toko, Dan kalau sudah
penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari tempat lain yang menurutku
layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh makan, sudah 3 hari aku tidak
makan, sisa makanan di tong sampah sudah membusuk karena hujan kemarin,
Biasanya aku mencari secerca kenikmatan disana yang masih bisa layak ku telan,
rasa lapar tak akan bisa membuatmu jijik. Setiap hari saat membuka mata yang
anda ingat hanya perut dan perut.”Ia terdiam dan mengalihkan pandanganya luas
menembus angkasa, langit malam ini. Aku hanya terdiam terpaku dengan mulut
terbuka, betapa aku tak percaya setengah mati. Bagaimana mungkin seandainya
sekarang aku berada di posisi ini? Aku yang terlahir dari keluar sederhana
namun penuh kehangatan, uang bukan masalah, aku hanya meminta tanpa pernah tahu
bagaimana orang tuaku mendapatkannya, semuanya cukup, tapi ternyata itu bukan
kebahagian, itu nafsu sesaat, Aku memang memiliki segalanya tapi tidak dengan
cinta, selalu ada yang kurang setiap hari. Tanpa kebersaman kita mati. Terutama
pentingnya mensyukuri apa yang ada. Aku menarik tangan dan menjabat tangannya
kuat-kuat yang tinggal dua jari meski sedikit risih karena aneh menurutku. Aku
memberinya sedikit pelukan hangat. Ia tersenyum memamerkan mulutnya yang bau
alkohol dan bau wc umum. Aku menyerahkan tas ku padanya. “ambil lah.. Aku tak
mengenalmu tapi kamu memberi ku banyak alasan hari ini, kenapa aku harus kuat
menghadapi hidupku sekarang dan nanti, bukankah hidup harus tetap di jalani.
Aku sadar masih punya segalanya, bodoh sekali cuma karena cinta semangatku
hilang, belum tentu ia jodohku, belum tentu ia juga memikirkan hal yang sama,
rasa sakitku”. Aku berlari menuruni tangga meninggalkan ia sendiri yang masih
terdiam menatap kembali langit yang menampakan bintang-bintang kecil yang
berkelip dengan jenaka, seakan hari ini tak akan berlalu.
Ketika aku akan menapaki jalan.
Kekasihku sedang berdiri di depanku dengan bunga mawar banyak sekali di
tangannya, sementara di belakangnya orang tua dan adikku yang berdiri di
samping mobil, kami saling terdiam untuk beberapa saat ia memulai.“maafkan aku
sayang, ternyata aku yang salah menilaimu, makasih ya?, sudah membuat hidupku
lebih berharga karena ini. Ia menyerahkan bunga dengan sebuah diary usang punyaku,
yang entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi disinilah aku bisa menulis
menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas kekasihku ini. Aku memeluk erat
tubuhnya lama kami terdiam di iringi tangis dan canda menghiasi malam,
sementara kedua orang tuaku tersenyum senang. Aku mengajak kekasihku menaiki
tangga untuk mengenalkan pada orang yang mengajarkanku banyak hal. Khususnya
arti bersyukur.Kami menapaki jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari
namun sosok itu hilang tak berbekas? Kami turun dan kami pergi ke mall bersama
orang tua dan adik ku untuk merayakan ulang tahunku.
Walaupun
tetap aku tak dapat sepeda motor karena tak lulus tapi bukan berarti kehangatan
ini harus berakhir
Tamat
1. Unsur Intrinsik
cerpen ‘‘Bangkit’’
1.Tema:
Jangan mudah putus asa / kehidupan
2.Latar:
-Waktu
: Malam hari
Bukti : Cahaya bulan malam ini begitu
indahnya.
-Tempat
: di pinggir jalan dan di atas jembatan
Bukti : ‘Aku termenung di pinggir
jalan, memegang kepalaku yang sakit. ‘
‘
Di sini di atas jembatan tua ini angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku’.
-Suasana
: Sunyi sepi
Bukti : ‘Aku berjalan menyusuri lorong
malam sepi nan gelap.’
3.
Alur : Maju
-Karena
jalan cerita dijelaskan secara runtut mulai dari pengenalan latar dan
masalah sampai ke konflik dan di akhir cerita terdapat
penyelesaian konflik.
4.Penokohan
:
-
Aku : mudah putus asa, kurang bersyukur dan selalu mengeluh
Bukti :
‘Kenapa kamu menolongku? Aku sudah tak
berarti lagi.’
‘Aku
hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya.’
-Pria
pemabuk : pemabuk dan kuat menghadapi beratnya hidup
Bukti :
‘seorang
pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan’
‘Hidup
di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan
untuk tertidur saja itu sulit.’
5.Sudut
pandang : orang pertama sebagai pelaku utama.
-Bukti
: Cerpen bangkit menggunakan kata ganti “aku” sebagai tokoh utama dan
mengisahkan tentang dirinya sendiri.
6.
Nilai :
-Nilai
Moral : Saat tokoh ‘aku’ menyadari selama ini hanya meminta tanpa pernah
tahu bagaimana orang tuanya mendapatkannya.Kita seharusnya bersyukur dengan apa
yang telah kita miliki tidak hanya menuntut sesuatu karna diluar sana masih
banyak orang yang kekurangan.
-Nilai
Perjuangan = Pria pemabuk berjuang bertahan hidup di jalanan yang keras. Di
kehidupan nyata banyak orang yang melakukan apapun untuk berjung hidup. Kita
harus berjuang mempertahankan hidup di dunia yang keras ini.
-Nilai
Kepedulian = Saat Pria pemabuk menyelamatkan tokoh ‘aku’ yang akan terjun dari
jembatan. Banyak orang yang membutuhakan bantuan kita saat menghadapi masalah
kita seharusnya membantu mereka tidak membiarkannya.
7.Amanat
:
a.
Jangan mudah putus asa dalam menjalani kerasnya hidup.
b.
Bersyukurlah atas apa yang telah dimiliki.
c.
Hidup tidaklah sempurna kadang manusia diatas dan kadang dibawah.
d.
Jangan lari dari permasalahan.
e.
Kegagalan adalah awal dari keberhasilan.
f.
Masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit
2. Unsur Ekstrinsik
cerpen “Bangkit”
1.
Latar Kepengarangan Penulis : Penulis menjumpai berbagai reaksi masyarakatt
saat mereka gagal dan berputus asa. Dalam cerpen ini penulis ingin
menginspirasi/memotivasi orang-orang dalam menghadapi kerasnya hidup melalui
ceritanya.
2.
Keyakinan Penulis : Penulis yakin bahwa kejadian ini banyak ditemui di
masyarakat. Banyak orang yang bunuh diri karena putus asa maka penulis
menggambarkan situasi tersebut dalam sebuah cerpen.
3.
Masyarakat pembaca : Pembaca dapat mengambil hikmah dari cerpen ini karena
cerpen ini mengandung masalah-masalah yang ada di masyarakat dan masih
banyak orang yang memiliki masalah yang sama dengan cerpen ini.
‘’KENANGAN AYAH DAN KUMIS LEBATNYA”
Waktu bagaikan penentu perjalanan manusia
yang terjadi dimasa lalu,sekarang hingga masa depan.Waktu dapat dikatakan
sebagai perekam yang merekam perjalanan hidup dan proses yang
dialami oleh setiap umat manusia yang dapat teringat kembali dimasa yang akan
datang. Berbagai waktu senang,waktu sedih, hingga waktu susahpun terselip di
antara waktu yang menceritakan perjalanan seseorang yang kemudian
terangkai menjadi sebuah kisah yang disebut dengan kenangan . Hal inipun tak
luput terjadi pada diriku sendiri, kenangan itu kujadikan sebagai salah satu
pelajaran hidup yang berarti maupun candaan yang tak akan terulang kembali
dalam perjalanan hidupku. Banyak kenangan masa kecil yang selalu telintas
dalam ingatanku seperti salah satunya kenangan ketika aku masih duduk
ditaman kanak-kanak, masih teringat dengan jelas bagaimana banyak kenangan yang
terjadi pada masa itu padahal sekarang aku telah duduk dibangku sekolah
menengah atas ,entah mengapa kenangan ini tak dapat lepas dari ingatanku . Kini
kenangan itu kuceritakan kembali untuk mengenangnya.
Inilah salah satu pengalamanku.
Ketika aku masih duduk disalah satu taman kanak-kanak di daerah tempat
tinggalku, aku selalu dijemput oleh ayahku. Ayahku adalah orang yang sangat
baik dan penyayang. Ayahku memiliki badan yang cukup tinggi dan besar serta
berkumis lebat. Ayahku bekerja sebagai seorang pegawai negeri yang
mengabdi didaerah tempat tinggalku. Setiap aku pulang sekolah dari taman
kanak-kanak ,ayahku selalu menjemputku dengan mobil dinasnya dan aku selalu
menunggunya didepan kelasku. Seperti biasa yang kulakukan ketika lonceng
sekolahku berbunyi disiang hari, aku menunggu ayahku untuk menjemputku.
Namun hari itu tampak berbeda dengan
hari-hari biasanya karena aku tak melihat ayahku sehingga membuatku
gelisah bukan main .Oleh karena itu kuputuskan untuk berjalan menuju pintu
gerbang sekolahku, ketika kuberjalan aku berpapasan dengan sesosok laki-laki
yang menyerupai ayahku berbadan besar dan tinggi namun tak berkumis
lebat. Lalu orang tersebut berkata “ Ayo, Hana mari pulang!” langkahku terhenti
sejenak sambil memerhatikan wajah orang itu, namun tak kukenal sama sekali
siapa orang itu .Sehingga membuat begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam
kepalaku, “ siapakah dia? Apakah ia adalah orang utusan ayahku untuk
menjeputku?”. Tak ada satupun jawaban yang terlintas untuk menjawab pertanyaan
–pertanyaan itu. Tetapi aku masih merasa bahwa aku mengenalnya ,lalu kucoba
memperhatikan wajahnya kembali. Betapa terkejutnya dan malunya aku waktu
itu.Orang tersebut adalah ayahku namun ayahku tanpa kumis lebatnya. Lalu ayahku
merangkul bahuku mengajakku jalan bersamanya menuju mobil dan pulang
kerumah. Dalam rangkulannya aku tak berani melihat mukanya karena perasaan
sangat malu yang bercampur dengan rasa tawa. Selama perjalanan aku masih terheran-heran
terhadap diriku sendiri karena aku tak bisa mengenali ayahku ketika ia tidak
memiliki kumis, apalagi jika ia botak mungkin aku benar-benar tak mengenalinya
sama sekali dalam benakku .
Oleh karena itu,jika kuteringat
kejadian ini kembali aku ingin tertawa yang bercampur malu,namun itu adalah
salah satu kenangan yang mungkin tak akan kulupakan hingga sekarang dan aku
tahu sekarang alasan ayahku tak pernah mencukur habis kumis lebatnya
itu,ia takut aku tak mengenalinya lagi hingga sekarang sehingga ia memilih
untuk memeliharanya. Itu merupakan salah satu kenangan yang kualami ketika
kumasih kecil,mudah-mudahan pengalaman ini dapat menghibur kalian yang
membacanya.Salam kenal…
Unsur Intrinstik Cerpen antara lain:
- Tema
-mengenai pegalaman masa kecil yang tidak
dapat dilupakan
- Tokoh dan penokohan.
-Tokoh : Aku dan ayahku.
-penokohan : Aku :pelupa.
Ayahku : sangat baik dan
penyayang.
- Alur
-merupakan alur gabungan ( alur yang
merupakan gabungan dari alur maju dan alur mundur) .
- Latar
-Latar tempat : Lingkungan sekolah
taman kanak-kanak(depan kelas,pintu gerbang sekolah).
-Latar waktu : Siang hari.
-Latar suasana :
bingung,menghibur,gelisa.
- Sudut pandang
-Sudut pandang orang pertama ( I ).
-Sudut pandang orang ketiga (III) .
- Gaya bahasa
-Menggunakan bahasa yang efektif
sehingga isi cerita dapat dimengerti oleh pembaca.
- Amanat
-Semua orang mempunyai masa lalu
yang berkesan maupun yang mengecewakan namun semua pengalaman tersebut selalu
memiliki makna tersendiri yang dapat kita ambil dan dikenang kembali dimasa
hidup kita kemudian . Selain dikenang pengalaman dapat juga menjadi obat
rindu kita terhadap masa lalu kita. Oleh karena itu apa yang kita lakukan
sekarang akan menentukan pengalaman yang akan dikenang kembali dikemudian hari.
Cinta Teman Terbaik
Udara
pagi ini begitu menyejukkan. Membuat pagiku terasa panjang hingga enggan
beranjak dari tempatku terpejam. Hari ini hari senin, hari pertamaku masuk
kuliah. Terburu-buru aku mandi karena bangun kesiangan. Sesampainya di kampus
aku mulai ikut kegiatan kampus, yaitu ospek. Namaku Siska. Aku bahagia karena
bisa kuliah di universitas harapanku. Ku mulai hari dengan semangat. Di sini,
di kampus ini aku belajar dan mulai mencari teman. Hari pertama ospek
terlewati. Teman pun telah ku miliki, meskipun masih terasa asing dan
aneh. Nama temanku Alin. Dia gadis yang manis, tinggi, dan kulitnya sawo
matang. Aku tak tau dia baik atau tidak. Awal perkenalan sih baik, tapi tak
tahu watak aslinya. Harapanku selalu baik.
Seminggu
masa ospek berlalu. Aku mendapat banyak teman baru. Tapi tak ku lupakan teman
pertama kali aku masuk. Yah, Alin masih menjadi dekat. Semakin lama semakin
dekat. Hari-hari kami lewati bersama. Mulai dari mengerjakan tugas bareng,
jalan-jalan bareng, curhat bareng, mandi pun mungkin bareng meski di tempat
berbeda.
Satu
semester telah terlewati, persahabatan kami semakin langgeng. Saling mengerti,
memberi perhatian di saat sakit, memberi kejutan di saat ulang tahun, solat
bersama, dan mengingatkan di saat lalai tidak mengerjakan solat. Banyak hal
yang sudah kami lalui. Banyak kesamaan di antara sikap kami. Ya, sama-sama
berparas judes, galak, keras kepala, dan galau soal pacar. Seringnya kami
gonta-ganti pacar membuat kami sering mengalami kejombloan.
Libur
semester 2 sudah menanti, aku bersiap untuk pelang ke rumah orang tuaku. Ya,
begitulah anak kos, setiap libur selalu pulang. Aku termasuk anak yang sedikit
manja. Tidak mau lama jauh dari orang tua. Sekalinya sudah mau dekat libur
selalu aku tak pernah melewatkan menghitung kalender untuk pulang. Kuliahku di
Palembang dan rumah orang tuaku di Lampung. Butuh waktu berjam-jam sampai ke
sana.
Libur
telah tiba, aku menikmati liburanku bersama keluarga. Ya sesekali aku maen
dengan teman kecilku dekat rumah. Kesedihan mulai muncul jikalau masa libur
habis. pagi-pagi aku sudah dibangunkan ibuku untuk siap-siap ke stasion pulang
ke kosan. Aku murung karena belum rela meninggalkan rumah. Di keretapun aku
hanya bosan. Saat akan sampai tiba-tiba aku bertemu dengan teman yang tidak
akrab. Aku hanya memberikan senyuman. Setelah sampai aku pun berpisah
dengannya. Hari-hari di kos mulai aku lalui. Pagi kuliah, ketemu Alin ngerumpi
sambil makan dan tak bosan-bosan. Saat malam aku buka-buka akun sosmed. Gak
nyangka ada yang ngechat. Maklum, orang jomblo ada yang ngechat agak seneng.
Setelah aku buka.. jeng-jeng... dari orang yang ketemu di kereta. Mulailah dari
situ kami ngobrol dan tukeran nomor hp.
Awal
kedekatan kami smsan, telponan. Tak lupa aku ceritakan pada Alin soal itu.
belum lama kedekatan itu aku jalan dan.. akhirnya jadian. Senangnya punya pacar
baru, ada yang perhatian lebih. Dari situ aku sering diantar jemput kuliah
meskipun gak setiap hari. Awal pacaran aku masih sering bersama Alin. Namun,
lama-kelamaan aku sering menghabiskan waktu dengan pacar baruku. Kemana-mana
selalu sama dia. Makan, main, ke toko buku, belanja hampir setiap hari bersama
kecuali pas tidur dan mandi kami tidak bersama. Hal-hal itu membuat
persahabatanku dengan Alin renggang.
Sempat
Alin mengatakan kesahnya karena aku tidak ada waktu bersamanya lagi. Tapi
aku tak begitu menghiraukan, aku hanya menjelaskan kalau pacar sedang butuh aku
makanya sering bersama pacar dibanding Alin. Tanpa ku sadari Alin juga tengah
bersedih, tapi kesanku hanya biasa saja. Tidak terlalu menanggapi. Sampai
akhirnya dia sedikit menjauh. Aku pun tak merasa dan tak peduli, sampai
akhirnya aku dan pacarku bertengkar hebat. Permasalahan yang begitu rumit
membuat kami puuutuuuss.
Kesedihan
merundungku setiap hari. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Hari-hariku duka.
Sampai akhirnya aku mulai mencari-cari sahabatku. Dia sedikit masam melihatku
datang dengan sebuah masalah, meskipunaku tahu dia sebenarnya tak rela
melihatku bersedih.
Dukaku
semakin mendalam jikalau aku kehilangan sahabat. Di atas tempat tidur
hari-hariku lewati tanpa kekasih hati dan sahabat. Kucoba meminta maaf pada
Alin. Baik via telpon dan langsung, tapi tak kunjung dia memafkan. Sampai
akhirnya aku putus asa, tak makan, tak kuliah. Siang bolong aku tidur, tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu. Aku buka dan kejutan, Alin datang. Tanpa menunggu lama
aku memeluknya erat sambil ku katakan maaf. Hujan air mata hari itu. kami pun
akur saat itu, Alin pun menjadi malaikat yang dikirim tuhan penghibur lara dan
penyembuh luka. Dari situ aku menyesal dan tak akan lagi meninggalkan sahabat
hanya untuk pacar. Karena sahabat tidak akan meninggalkan, tetapi pacar akan
meninggalkan pacar demi pacar lain.
***
Analisis unsur
Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur
Intrinsik:
A.
Judul: Cinta Teman Terbaik
B.
Tema: persahabatan
C.
Alur: maju
D.
Sudut pandang: tokoh utama pelaku utama, menggunakan kata “aku”
E.
Deskripsi Tokoh dan penokohan:
- Alin berparas manis, bertubuh tinggi dan kulitnya sawo matang: baik, pemaaf,
- Siska: baik namun pernah salah langkah karena sempat melupakan sahabat hanya karena orang baru.
F.
Latar :
- Waktu: pagi dan siang hari.
- Tempat: kost, kampus, stasion, dalam kereta.
G.
Amanat : kalau punya teman baru, teman lama jangan dilupakan.
Unsur ekstrinsik:
A.
Nilai sosial: saling memberi perhatian di saat sakit
B.
Nilai pendidikan: semangat belajar di kampus yang baru
C.
Nilai budaya: memberi kejutan saat ulang tahun
D.
Nilai keagamaan: sholat bersama dan saling mengingatkan di saat lalai sholat
Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa. Karena baru saja datang, lelaki itu akhirnya duduk di antrian paling belakang. Satu jam sudah ia duduk mengantri di tempat itu. Beberapa saat kemudian, tibalah kakek itu di antrian paling depan. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna merah yang ia bungkus dengan kresek berwarna hitam dan menyerahkannya kepada si petugas kelurahan. Si petugaspun langsung memeriksa satu per satu isi map merah milik kakek tadi.
“Maaf pak, tapi syarat-syarat bapak kurang lengkap. Bapak harus meminta surat keterangan tidak mampu dari ketua RT dan RW, baru bapak bisa kembali lagi kesini. Kata si petugas kelurahan sambil menyerahkan kembali map merah milik kakek.
Lelaki tua itu tetap berusaha tersenyum, sudah lebih dari sejam ia duduk menunggu disana namun ternyata semua itu sia-sia. Ia kembali menuju sepeda onthel tuanya yang diparkir diantara beberapa mobil dan sepeda motor.
Kakek tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan, sudah banyak pengalaman pahit manis yang dialaminya. Ia telah kehilangan banyak sekali teman-teman seperjuangannya, tapi kematian teman-temannya tersebut tidaklah sia-sia. Mereka semua adalah para syuhada, mereka semua mati syahid, mati di jalan Illahi sebagai bunga bangsa.
Lelaki tua itu tiba-tiba tersentak mendengar klakson bis yang membangunkannya dari lamunan masa lalunya. Tak terasa ternyata ia telah berada di jalan raya, itu artinya ia harus lebih berhati-hati lagi.
Kakek itu sekarang tinggal bersama istrinya di kolong jembatan setelah rumah mereka digusur polisi seminggu lalu. Tapi sayangnya sang istri sekarang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit, sementara si kakek sedang mengusahakan pengobatan gratis bagi istrinya tersebut.
Tiba-tiba anngin berhembus semakin kencang, suara petir mulai terdengar dan awanpun berubah menjadi hitam tanda akan turun hujan. Dan benar saja, hujan turun dengan derasnya. Si kakek memutuskan untuk berteduh di emperan toko karena tak ingin map yang dibawanya tersebut menjadi basah dan rusak.
Ternyata dari tadi lelaki tua itu berteduh di depan warung sate, pantas saja perutnya merasa semakin lapar. Ia ingat bahwa terakhir ia makan sudah sejak tadi malam, sedangkan sekarang sudah jam dua lebih. Sekilas ia menengok ke dalam warung sate tadi, di dalamnya banyak orang sedang makan dengan lahapnya. Lelaki tua itu pun tersenyum, ia merasa bangga karena perjuangannya dulu saat mengusir kompeni dari tanah airnya tidaklah sia-sia. Bila ia dan teman-teman seperjuangannya dulu gagal mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa menikmati suasana seperti ini.
Kakek tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari tadi di setel oleh seorang pedagang kaset yang berjualan tak jauh darinya. Televisi itu sedang menyiarkan seorang berpakaian jas hitam rapi dengan mengenakan dasi sedang berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya sangat mewah. Si lelaki tua itu menebak bahwa orang yang sedang muncul di televisi tadi pastilah seorang pejabat negerinya. Dalam pidatonya, orang itu mengatakan bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya. Sejenak ia berpikir merenungi kata-kata pejabat itu. Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang tidak punya nasionalisme, rakyat negerinya atau para pejabat itu?
Apakah pejabat yang bernasionalisme adalah pejabat yang makan kekenyangan saat rakyatnya mati kelaparan? Apakah pejabat yang nasionalis adalah para pejabat yang bebas liburan keliling dunia saat rakyat di negerinya antri bbm hingga berhari-hari? Atau pejabat yang punya banyak mobil mewah saat rakyatnya berdesakan di gerbong kereta api?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus memenuhi pikirannya, namun ia sadar ia harus pergi sekarang. Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya dan hujan pun kini telah reda, lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya.
Sesampainya di rumah sakit kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan langsung bergegas menuju kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa kakek itu selalu merasa tak tenang setiap jauh dari istrinya. Ia akan memastikan dulu bahwa istrinya tak membutuhkan bantuannya, baru ia akan berangkat lagi untuk mengurus surat keringanan ke ketua RT dan RW.
Saat sampai di depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa kamar sudah dalam keadaan kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan terkunci sehingga tak bisa dibuka, padahal kakek itu yakin ia tidak salah kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa mungkin istrinya telah sembuh sehingga dipindahkan ke tempat lain oleh dokter. Namun untuk memastikan, si kakek mencari seorang dokter yang tadi pagi memeriksa keadaan istrinya. Si kakek pun menanyakan kepada dokter tadi dimana istrinya sekarang berada. Dokter pun menatap wajah si kakek dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf pak, kami sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Allah berkehendak lain. Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu.” Kata si dokter yang tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah yang dibawanya jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang sudah tak ingat apa-apa lagi.
Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang satu bertuliskan Darsono bin Atmo, seorang veteran tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya lagi bertuliskan Pariyem binti Ngatijo, istri dari sang veteran pejuang. Meskipun sang veteran miskin itu sekarang telah tiada. Namun di negerinya, negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari.
1. Tema
|
: Perjuangan
|
2. Sudut Pandang
|
: Orang ketiga
|
3. Amanat
|
: Tetaplah sabar dan tetap
berjuang sesulit apapun keadaan.
|
4. Alur
|
: campuran
Perkenalan : Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda
bututnya di parkiran balai desa
Penampilan
masalah: bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme, rakyat
dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya.
Klimaks: Istri
bapak sudah meninggal sejam yang lalu
Klimaks : negeri dimana kayu dan batu bisa jadi
tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya.
Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak yang rela bekerja keras
membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari.
|
5. Latar :
|
:Tempat: kantor balai desa,
emperan toko, rumah sakit.
Waktu: siang hari, jam dua siang.
Suasana: sedih, mengharukan.
|
6. Penokohan :
|
Kakek Tua : pekerja keras,
penyabar, ramah.
Istri : setia, penyabar.
|
LIANG HARIMAU
Gus tf
Sakai
Karena pagi buta, tak ada yang tahu
bagaimana peristiwa sebenarnya. Tapi seorang wartawan, yang mengutip keterangan
polisi, menulis berita begini:
”… Pembunuhan itu terjadi sekitar
pukul 05.00. Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam
berita acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si
majikan karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim, warga Kampung
Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun menolak
memberikan upah yang ia minta.”
Dan hari ini, enam bulan kemudian,
untuk kesekian kalinya Sadim digiring ke ruang sidang. Seperti sidang-sidang
lalu, wajah Sadim masih tampak terheran-heran, celingukan mencari-cari, atau
kadang bagai termangu. Dan pakaian putih-putihnya yang lusuh—terlihat nyaris
cokelat karena bekas-bekas tanah yang tak mau hilang; cara duduknya yang
aneh—membungkuk dalam dengan dua tangan jatuh telentang bagai ditampungkan di
pangkuan, melengkapkan kesan lelaki 40-an tahun yang menyebut diri urang
Rawayan itu seolah tak berada di dalam ruang sidang.Dan memang, sebenarnyalah,
Sadim tidak sedang berada di dalam ruang sidang.Ia berada pada suatu tempat
dalam pikirannya: Liang Harimau.
Liang Harimau, atau dalam bahasa
urang Rawayan disebut Liang Maung, terletak di kaki Gunung Rorongocongok.
Merupakan hutan lindung yang tak boleh dirambah, tetapi entah bagaimana Rasikun
bisa memiliki sebidang tanah sangat luas lalu membuka ladang di sana. Dan
Sadim, yang telah dua tahun ini bekerja serabutan di kampung-kampung sekitar,
pun menerima kontrak kerja dari Rasikun. Dengan upah empat liter beras perhari,
setiap dinihari, dari rumah si majikan, Sadim berangkat ke Liang Harimau.
Sebetulnya, berat bagi Sadim
menerima pekerjaan itu. Bukan karena luas atau liarnya hutan yang harus
dirambah, tetapi karena Liang Harimau bagi mereka urang-urang Rawayan adalah salah
satu hutan yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya ruh nenek moyang.
Orang-orang luar tangtu (kampung) seperti Rasikun mungkin hanya mengenal lokasi
itu sebagai ”angker”, tetapi bagi urang-urang Rawayan Liang Harimau adalah
tempat ruh nenek moyang turun bermain setelah hidup abadi di lemah bodas
(surga). Tanpa harus ditegur Puun atau Kepala Adat pun, takkan ada urang
Rawayan yang berani sembarangan ke—apalagi ”mengganggu” di—Liang Harimau.
Tetapi begitulah, betapa sulitnya
memperoleh pekerjaan. Sejak tanah humanya mulai tandus dan hasil panennya tak
pernah lagi cukup pengisi leuit atau lumbung padi keluarga, Sadim terpaksa
mencari kerja ke tangtu atau kampung-kampung luar untuk mendapat tambahan atau
upah apa saja. Kadang, melihat sawah atau tanah kampung-kampung luar yang
seperti bisa ditanami selamanya, ia berpikir dan kemudian heran, kenapa adatnya
tak membolehkan urang-urang Rawayan memakai apa yang disebut orang-orang
kampung luar sebagai pupuk? Dan juga, kenapa para leluhur tak membolehkan mereka
bertanam padi dengan cara bersawah? Ah, larangan-larangan itu: tak boleh
merokok, mandi menggunakan sabun, memiliki alat rumah tangga yang terbuat dari
barang pecah-belah; dilarang memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing;
dilarang tidur berbantal dan bertikar, memakai pici, naik kendaraan….
Tetapi, larangan dari Rasikun,
sungguh di luar perkiraan Sadim.
Tiga hari sebelum pembunuhan itu,
Sadim dikunjungi saudaranya dari Cibeo yang khusus datang ke rumah Rasikun
mengabarkan bahwa orang-orang kampungnya akan menggelar upacara Ngasep Serang.
Inilah upacara adat sangat penting, upacara membakar lahan sebelum musim tanam,
yang harus diikuti oleh segenap warga urang Rawayan. Bagi Sadim,
larangan-larangan atau pantangan-pantangan lain yang sangat banyak itu—dengan
mencuri-curi—masih bisa dirinya langgar. Tetapi upacara Ngasep Serang, bahkan
andai tak diwajibkan hadir pun, sungguh Sadim tak berani.
”Ngasep Serang? Upacara apa itu?”
tanya Rasikun, dalam bahasa Sunda bercampur Rawayan, ketika Sadim minta izin tak
berangkat kerja ke Liang Harimau, nanti, di hari upacara, karena harus pulang
ke Cibeo.
Sadim pun menerangkan. Entah karena
memang kurang peduli, atau entah karena Sadim menerangkan dengan banyak kata
dan istilah dalam bahasa Rawayan, Rasikun tak begitu mengerti. Tapi dengan tahu
bahwa Ngasep Serang adalah semacam upacara agar tanaman urang Rawayan nantinya
berhasil baik dan diberkati Sahiyang Tunggal (Tuhan), Rasikun merasa cukup.
Memang Sadim menyebut-nyebut Girang Puun, puun tertua, Jaro Tangtu, jaro pengurus
masalah-masalah adat, Tangkesan, pembantu Puun yang mengurus masalah pertanian,
dan Dukun dan Penujum yang mengurus masalah keagamaan dan upacara-upacara adat,
tetapi bukankah Sadim tidak salah seorang dari mereka?
”Kalau kau tak ada, Sadim, bukankah
upacara itu tetap terselenggara?” tanya Rasikun.
Sadim bingung. Diam, tak bisa
menjawab.
”Kau tak boleh pulang. Ladang di
Liang Harimau sudah harus bisa ditanam sebelum musim hujan.”
Dan hari itu, Sadim berangkat kerja
ke Liang Harimau dengan hati gundah. Di sepanjang jalan, ia terbayang leuit
yang kosong. Juga tanah huma yang tandus. Ketakhadirannya di Ngasep Serang tak
hanya akan membuat tanah dan tanaman marah, tetapi, seperti pernah dibilang
Penujum, ”Seluruh alam dan isinya bakal melawan, jadi musuh urang, mengincar di
kala sempat.” Mengincar? Sebelum pulang, senja itu, Sadim merasa ada sepasang
mata mengawasinya. Saat ia menoleh ke seberang sungai—sungai kecil yang meliuk
mengalir dari pinggang Gunung Rorongocongok sekaligus pembatas tanah Rasikun,
Sadim terkejut: seekor harimau! Seekor harimau menatap nanap ke arahnya!
Sadim pulang dengan menggigil.
Ketakutan. Saat ia ceritakan kepada Rasikun, si majikan tertawa seraya bilang
tentu saja wajar di hutan selebat itu hidup bermacam binatang buas termasuk
harimau. ”Kau tahu, mereka tak bakal mengganggu, takkan melakukan apa-apa
sepanjang kita juga tak mengganggu mereka,” tambah Rasikun. Tetapi, besoknya,
senja juga, Sadim kembali mendapati si harimau ada di sana. Menatap, bukan
hanya nanap—tetapi kini bagai mengancam, ke arahnya. Sungai itu … sungai kecil
itu, tidakkah bisa saja dilompati olehnya?
Saat pulang, Sadim merasa harimau
itu mengikutinya.
Dan lalu, besoknya, pembunuhan itu
terjadi, di pagi buta.
Dan begitulah hari ini, enam bulan
kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim berada di ruang sidang. Dan seperti
sidang-sidang lalu, majelis hakim kembali tampak seolah kebingungan, kehilangan
akal, mendapati jawaban Sadim yang bagai tak nyambung, tak runut, bahkan tak
sesuai dengan berita acara pemeriksaan.
”Nu maneh tempo harita teh saha
(dulu, yang kau lihat itu siapa),” tanya Kepala Desa Kanekes menerjemahkan
pertanyaan Ketua Majelis Hakim tentang siapa yang ditusuk Sadim sekitar pukul
05.00 enam bulan lalu itu.
”Maung (harimau),” jawab Sadim,
lirih ….
Unsur intrinsic :
1. Tema :
2. Sudut Pandang : Orang Ketiga
3. Amanat : -
4. Alur : campuran
klimaks : . Sadim baru bangun tidur
dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi
disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih
menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu
marah karena Rasikun menolak memberikan upah yang ia minta.”
5 : Latar: Hutan , Rumah Rasikin ,
ruang sidang
6.Penokohan: Rasikin : egois
,sombong
Sadim : Jujur
9 Fiction
Saya
mempunyai beberapa teman sekelas yaitu, Afif , Cepy , Gery , Rifki , Irfan dan
Riki.
Pada
hari Kamis itu kami mendapat tugas dari seorang guru IPA untuk membuat
percobaan tentang Bioteknologi, tetapi kami tidak mengerjakannya pada hari itu!
karna kami mempunyai kesibukan masing-masing jadi kami mengerjakannya pada hari
rabu pulang sekolah minggu depannya dan
itu pun dilaksanakan bersamaan dengan latihan menari.
Pada
awalnya kami akan latihan menari dulu di Sekolah tetapi karna ada teman kami
yang merayakan ulang tahun Rizal(teman satu sekolah kami) jadi kami ikut merayakannya walaupun sebenarnya
kami hanya ingin merasakan kue ulang tahunnya, kebanyakan dari kami hanya
memakan kue dan lupa member ucapan selamat terhadap Rizal. Karna keasyikan kami
lupa untuk latihan menari, jadi kami buru buru pergi ke rumah Gery untuk
berlatih tetapi Afif tidak ikut karna ada urusan.
Sesampainya
dirumah Gery kami beristirahat dulu sejenak sambil menunggu Rifki dan Irfan
yang kalah cepat oleh kami, Gery pun datang dan membawakan seikat pisang dan
sebotol air dingin, Tidak lama Rifki dan Irfan pun datang kami pun menikmati
makanan itu dengan lahap. Pada saat menikamati makanan itu RIfki mendapat
Telepon dari Afif yang ternyata ingin dijemput didepan komplek karna akan ikut kerja kelompok , karna jarak dari rumah Gery menuju
depan komplek jauh jadi kami memutuskan untuk menjemput Afif dan pergi
ke rumah Rifki yang jaraknya agak dekat dari depan komplek. Pada saat
diperjalanan saya hampir jatuh dari motor karna jalannya yang berlumpur karna
terkena air hujan, tetapi karna keahlian saya mengnedarai motor saya tidak jadi
jatuh.
Sesampainya
di rumah Rifki bersama Afif kami pun beristirahat kembali di kamar Rifki yang ada di atas kami pun
bercakap-cakap dan ada seseorang yang bicara kepada RIfki ingin memakan
sesuatu, Tidak lama Rifki pun memanggil Ibunya yang ada di bawah dengan logat
sundanya yang khas” Mah ieu rerencangan hoyong tuang”, Gery pun berkata
“Padahal sakalian jeung fanta-na”, Rifki pun berteriak lagi “Sakalian jeung
Fantana cenah”, Kami pun tertawa karna sebenarnya kami hanya bercanda.
Kami
pun pergi kebawah untuk berlatih ,tidak lama Ibu Rifki dating membawa makanan
,Kami hanya tersenyum malu karna pada walnya kami hanya bercanda. latihan pun
berjalan tidak terlalu baik karna kami tidak hafal gerakannya. tiba tiba hujan
turun ,kami pun kaget karna kami belum mengerjakan tugas Bioteknologi,terutama
Afif karna ia juga harus les, jadi pada saat hujan mereda kami mengantar Afif
untuk les dan lekas pergi ke rumah kenalan Rifki yang mempunyai usaha membuat
Roti rumahan untuk meminta bantuan.
Pada
saat diperjalanan hujan pun turun kembali kami akhirnya berteduh di sebuah
saung yang tidak jauh dari tempat pembuat roti. Rifki dan Irfan memutuskan
untuk pergi ke rumah pembuat roti itu agar tugas cepat selesai jadi saya , Cepy
, Gery dan Riki pun menunggu di saung yang juga adalah tempat ronda,. setelah
beberapa menit Rifki dan Irfan pun keluar menghampiri kami pada saat hujan
gerimis ,kami menyangka semuanya telah selesai ternyata masih ada proses untuk
meng-oven roti,ternyata dirumah itu hanya membuat adonan saja dan nanti akan di
oven di toko kecil yang agak jauh dari tempat itu.kami pun pergi walau hujan
gerimis,pada saat sampai di took Rifki mengusulkan agar roti dibentuk kata kata
9F kami pun setuju ,tetapi Riki mengusulkan kata kata 9Fiction yang artinya 9 Fiksi saya tidak tau mengapa ia ingin kata
kata itu tetapi kami menyetujuinya, karna Rifki takut hujan semakin membesar ia
menyuruh kami untuk pulang dan sisanya ia yang mengerjakan,kami pun
menyetujuinya karna memang langit semakin gelap.
Keesokan
harinya kami menyerahkan roti yang berbentuk 9-FICTION sebagai hasil dari tugas yang diberikan kepada kami.
akhirnya kami mendapat nilai tertinggi dari Guru atas hasil karya kami…..
Unsur intrinsic :
1.Tema : Usaha , Pertemanan
2. Sudut Pandang : orang pertama
3. Amanat : kebersamaan adalah hal
yang paling indah.
4. Alur : maju
perkenalan : Saya mempunyai beberapa
teman sekelas yaitu, Afif , Cepy , Gery , Rifki , Irfan dan Riki.
penampilan masalah : kami tidak mengerjakannya pada hari
itu! karna kami mempunyai kesibukan masing-masing
Klimaks : lupa untuk latihan menari, jadi kami
buru buru pergi…
anti klimaks : Sesampainya dirumah Gery kami
beristirahat dulu sejenak sambil menunggu Rifki dan Irfan yang kalah cepat oleh
kami
klimaks: RIfki mendapat Telepon dari Afif
yang ternyata ingin dijemput didepan komplek karna akan ikut kerja kelompok
anti klimaks: beristirahat kembali di kamar Rifki yang ada di atas kami pun
bercakap-cakap
penyelsaian : Keesokan harinya kami menyerahkan
roti yang berbentuk 9-FICTION sebagai
hasil dari tugas yang diberikan kepada kami. akhirnya kami mendapat nilai
tertinggi dari Guru atas hasil karya kami…..
5. Latar : sekolah , rumah Rifki , Rumah Gery
6. Penokohan :
afif : Baik
Aughy : Baik
Cepy : Baik
Gery : Baik
Irfan : Baik
Rifki : Baik dan Humoris
Riki : Baik
Comments
Post a Comment